Kamis, 19 Februari 2015

ANGKATAN SASTRA PUJANGGA BARU

1.   

                Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
  1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
  2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru


Pada periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar puisi. Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama sudah mulai ditulis.

Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Pujangga Baru.
Puisi
a.       Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b.      Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c.       Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
d.      Hubungan antarkalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu.
e.       Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tenteram.
f.       Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
Contoh:
Padamu Jua
. . . .
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . . .
Dikutip dari: Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah, Dian Rakyat,
Jakarta, 1985
Dari puisi ”Padamu Jua” dapat diketahui bahwa puisi angkatan ini bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya sangat indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi ”Padamu Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada sang kekasih. Dalam puisi ”Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang berupa perbandingan, seperti serupa dara di balik tirai.Pada puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan persajakan.Persajakan ini dapat dilihat pada setiap baitnya.
Contoh:
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . .

Prosa
a.       Alurnya lurus.
b.      Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung. Deskripsi fisik sudah sedikit.
Contoh:
. . . .
Aduh, indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya,sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ”Ya, bagus.”Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan tersebut dapat diketahui watak Maria yang mudah memuji dan watak Tuti yang tidak mudah kagum atau memuji. Watak Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria dan Tuti.
c.       Tidak banyak sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d.      Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
e.       Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa.
f.       Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan masalah individu manusia.
Contoh:
. . . .
Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah. ”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana,Balai Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa salah satu masalah yang ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.

g.      Bersifat didaktis.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda