ANGKATAN SASTRA PUJANGGA BARU
1.
Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan
oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama
terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan
elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisjahbana,
beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai
Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan
Takdir Alisyahbana dkk.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
- Kelompok
"Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah
- Kelompok
"Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan
Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
|
|
Pada periode Pujangga Baru jenis
sastra yang dihasilkan sebagian besar puisi. Selain itu, karya sastra berjenis
cerita pendek dan drama sudah mulai ditulis.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra
periode Pujangga Baru.
Puisi
a.
Puisinya
berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b.
Pilihan
kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c.
Bahasa kiasan
utama ialah perbandingan.
d.
Hubungan
antarkalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu.
e.
Mengekspresikan
perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tenteram.
f.
Persajakan
(rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
Contoh:
Padamu Jua
. . . .
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . . .
Dikutip dari: Nyanyi Sunyi, Amir
Hamzah, Dian Rakyat,
Jakarta, 1985
Dari puisi ”Padamu Jua” dapat
diketahui bahwa puisi angkatan ini bukan termasuk pantun atau syair lagi.
Pilihan kata-katanya sangat indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi ”Padamu
Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada sang kekasih. Dalam puisi
”Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang berupa perbandingan, seperti serupa dara
di balik tirai.Pada puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan
persajakan.Persajakan ini dapat dilihat pada setiap baitnya.
Contoh:
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . .
Prosa
a.
Alurnya lurus.
b.
Teknik
perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung. Deskripsi fisik sudah
sedikit.
Contoh:
. . . .
”Aduh, indah benar.” Dan seraya
melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu,
alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah
karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya,sebagai air memancar
dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia
pun berkata, ”Ya, bagus.”Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan
berat.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St.
Takdir Alisjahbana, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan tersebut dapat
diketahui watak Maria yang mudah memuji dan watak Tuti yang tidak mudah kagum
atau memuji. Watak Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria dan
Tuti.
c.
Tidak banyak
sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d.
Pusat
pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
e.
Gaya bahasanya
sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa.
f.
Masalah yang
diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi,
pemilihan pekerjaan, dan masalah individu manusia.
Contoh:
. . . .
Dalam sepi yang sesepi-sepinya
itulah kedengaran suara Tuti membelah. ”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat
yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian besar ialah
berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam
masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding
tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang
angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua
pun.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St.
Takdir Alisjahbana,Balai Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan di atas dapat diketahui
bahwa salah satu masalah yang ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.
g.
Bersifat
didaktis.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda