Rabu, 01 Januari 2020

Kesetiaan Bukanlah Janji 2



Bayangmu terpahat dalam di dalam matahariku
Membuat hasratku kepadamu makin kuat
Tubuhku terbakar oleh api cintamu
Tak tersisa secuilpun raga dan jiwaku
Seluruh usia hidupku kukorbankan demi keindahanmu
Biarlah kau merekah sempurna dan tetap mekar
Walau aku telah layu dan bahkan kering
Biarlah aku terjatuh dalam jurang kepedihan
Asalkan kau terselamatkan
dari kehancuran dan siksa kerinduan
Itulah salah satu puisi yang dikirim Hanun padaku waktu itu. Puisi itu masih aku hapal di kepalaku. Jika aku kangen, lewat puisi itu aku hadirkan bayangan Hanun. Lewat puisi itu Hanun begitu lekat di benak dan batinku. Wajahnya, senyumnya, marahnya, cemburunya, sedihnya tayang di hati, pikiran dan mataku. Walau kami sudah berpisah, Aku akui hati ini masih miliknya. Aku belum bisa berpaling. Deritanya deritaku. Sakitnya sakitku.
Saat ini Hanun harus berjuang melawan sakit. Bahkan,  sudah 2 mingguan dia tergeletak di rumah sakit melawan serangan tipes. Sejujurnya aku ingin berada di samping Hanun saat dia terpuruk seperti ini. Dia butuh  aku. Infus dan obat tak mampu menyembuhkan penyakitnya. Hanya akulah harapannya. Aku pingin pulang  namun tidak berani. Tidak ada alasan jika aku ditanya ibu, nanti. Karena dua minggu lalu aku sudah pulang, waktu cucu Pak De puputan.
Aku takut peristiwa 3 tahunan yang lalu terulang lagi. Saat awal mereka tahu aku menjalin hubungan dengan Hanun. Waktu itu Ayah dan ibu mengintrogasi aku diruang tamu.
 “Duduk, Le!”
Perintah bapak kepadaku selepas magrib waktu itu.  Beliau mencegat aku di ruang tamu saat pulang dari mushola. Aku turuti perintahnya. Aku duduk tertunduk di depan beliau. Beberapa menit, Ibu keluar dari kamar lalu duduk di sebelah bapak. Suasana rumah seperti pengadilan saja. Perasaanku kacau dan takut. Aku punya salah apa sama mereka sehingga aku seperti pencuri yang dihakimi?
Aku tidak berani menatap wajah mereka. Aku juga tidak berani menanyakan ada masalah apa hingga mereka menyuruh aku duduk dihadapan mereka yang tidak seperti biasanya. Biasanya bapak kalau menyuruh aku menggaruk garam di tambak, dia cukup berdiri di depan pintu kamarku dan berbicara di luar kamar. Atau menitip pesan kepada adikku jika bapak menyuruh aku ke tambak untuk memanen bandeng atau menebar nener.
 “Le.., aku mau tanya sama kamu. Jawab seng jujur, yo Le!
Ing..gih, Pak!” jawabku dengan agak gemetar.
“Apa betul kamu suka seorang gadis?”
Aku tersentak kaget. Dadaku terasa mau pecah. Apa bapak menahu hubunganku dengan Hanun? Atau ada maksud lain?
“Jawab, Le! Jawab ae seng tegas lan jujur.” kata ibu.
Aku harus bilang apa. Aku menjawab tidak, aku membohongi perasaanku dan mereka. Kalau aku jawab “iya” aku tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. Ya, Allah…! Harus kukatakan apa di hadapan mereka? 
Piye Le, kok gak jawab!”
Mukaku seperti ditampar. Leher dan kepalaku kaku seperti sarafnya mati. Keringat hangat mulai mengalir dari tubuhku. Keringat itu mulai menjilat-jilat bajuku. Lebih-lebih pantatku. Aku tarik napas dalam. Aku beranikan diri mengangkat kepala namun belum berani menatap mereka.
“Ada apa Pak, Buk, mengapa Jenengan ngendikan ngoten?”
“Gini, Le ! kata Pak Demu tadi sore bahwa orang-orang sekampung membicarakan kamu!”
“Bicara masalah apa, Pak!”
Aku pura-pura tidak tahu. Padahal aku mulai tahu arah pembicaraan mereka. Pasti dia akan menanyakan hubunganku dengan Hanun. Karena setelah sholat magrib tadi aku di panggil Pak De di mushola sebelum pulang. Aku ditanya tentang hubunganku dengan Hanun sejauh mana. Aku sempat terkejut dari siapa Pak De tahu aku ada hubungan dengan Hanun? Pak De menjawab kalau dia tahu dari Wak Ranto yang meminang Hanun untuk Jawawi, anaknya. 
“Orang-orang sekampung berbicara tentang Kamu. Hubunganmu dengan anaknya Mustaqim. Tadi sore, Pak De bilang kepada bapak saat di tambak. Pak De juga ditanya Wak Ranto tentang hubungan kamu dan anaknya Mustaqim. Karena anak Wak Ranto meminang anak gadisnya Mustaqim, namun  pinangannya ditolak. Dengan alasan bapak si gadis itu mengatakan kalau dia sudah ada janji dengan kamu. Apa betul itu Le..?
Aku diam. Mulutku sulit aku gerakkan.
Wong rupamu yo koyok ndok ngono, kok diedani wong wedok le…le..! Le.., kamu ini masih timur! Sekarang ibu tanya, umur kamu berapa?
“18 tahun, Bu?”
“Sebaiknya kamu menyelesaikan kuliahmu dulu. Kalau kamu lulus kuliah dan dapat pekerjaan baru menikah. Siapa gadis yang jadi pilihan kamu ibu pasti setuju.” Kata Ibu
Ngingoni anake wong ora gampang, Le!” kata bapak.
“Lagi pula perjalan hidupmu masih jauh. Aku tidak suka kamu menggantung anak orang. Nanti akan timbul banyak fitnah. Kamu harus menjaga harga diri dan kehormatan keluarga, diri kamu, bapak dan ibu! Kalau memang gadis itu jodoh kamu pasti akan ketemu! Kalau jodoh tidak akan kemana, Le! Tetapi, aku tidak mau kamu menjalin hubungan selama Kamu masih kuliah. Karena apa?! Pertama kamu masih kecil, belum bekerja. Kedua, itu akan menggangganggu konsentrasi belajarmu. Ketiga, apa pantas seorang alumni madrasah pacaran seperti orang kebanyakan. Ketemuan, boncengan dan lain-lain. Di mana otak kamu, Le! Di mana le…!” kata ibu waktu itu dengan suara meledak-ledak.
Kulangkahkan kaki ke luar karena di dalam masjid terasa makin pengap saja. Padahal masjid ini besarnya dua kali lipat masjid di desaku. Bangunan berdiri megah berlantai dua ini tak mampu menampung kepengapan yang menggumpal di dadaku.  Kusandarkan tubuhku di tralis pagar teras masjid. Kutatap langit yang benderang cahaya. Kubiarkan pikiranku mengitari bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang.
Aku bagi bebanku kepada dewi malam yang bersenyum lebar dan bintang-bintang yang bergelantung di angkasa itu. Aku lemparkan beban-beban ini kepada pohon mangga, sawo, dan pohon belimbing yang selalu memberikan keceriaan anak-anak ketika sebelum atau sesudah mengaji di masjid ini.  Kutimpakan pula kepada rumah-rumah mewah yang berpagar besi yang menggambarkan keangkuhan penghuninya. Namun, aku tidak menemukan ketenangan di sana. Malah pikiranku melayang jauh ke kota kelahiran, ke daerah asalku yang jaraknya beratus-ratus meter dari Salatiga ini. Aku membayangkan Hanun tergeletak di tempat tidur putih. Dia merintih-rintih menahan sakit.
“Belum tidur, Ful!”         
Tiba-tiba suara Duki menyibak kesunyian malam. Kudongakkan kepalaku ke mukanya. Mungkin dia bangun ingin salat tahajud.
“Belum, Duk!” Jawabku kepada teman yang mengajakku tinggal di masjid ini menjadi muadzin dan penjaga masjid ini. Sebelumnya aku menjadi penjaga masjid dan muadzin di masjid komplek sebelah. Aku pindah sini karena ajakannya. Di samping gaji bulanan, di sini kita diberi beras untuk makan. Sehingga mengurangi beban hidupku setiap bulannya.
“Jadi kamu belum memejamkan mata barang sejenak semalaman ini?”
Aku mengangguk. Memang, mataku belum terpejam meski sejenak sejak para pengurus masjid ini undur dari rapat rutin bulanan. Mungkin sekitar pukul 00.30 mereka membubarkan diri untuk mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah seharian melawan kerasnya pekerjaan. Aku kepingin pulang tetapi belum punya keputusan. Pikiranku masih kacau makanya aku keluar dari masjid mencari solusi yang tepat.
“Apa yang membuat kamu tidak bisa tidur, Ful?” tanya Duki melangkah duduk di sebelahku.
“Dulu, sebelum aku kuliah di sini, aku jatuh hati pada seorang gadis. Hubunganku cukup serius. Kami mengadakan sumpah janji. Apapun yang terjadi kita tetap bersama. Tak perduli topan, badai, gunung meletus kami akan tetap bersama. Kami juga bersumpah untuk membina rumah tangga. Walaupun rintangan dari orang tua kita, kita akan tetap menerjangnya. Berjalannya waktu kami putus. Kami sudah putus hubungan 3 tahun yang lalu. Namun, hati ini rasanya masih saling memiliki. Hanun sudah berkali-kali dipinang orang tetapi selalu ditampik.”
 “Dia, gadis mana?”
“Dia gadis tetangga desa.”
“Sumpah dan janji kalian begitu menggebu. Akhirnya, hubungan kalian putus tengah jalan. Kok bisa? Apa yang menjadi pemicunya?”
“Sebetulnya tidak ada pertengkaran antara kami. Gimana ya, menjelaskan…!”
“Apa kedua orang tua kalian sebagai penghalang?”
“Masalah jodohku orang tuaku terserah aku. Akan tetapi, ibu dan bapakku meminta aku menyelesaikan kuliah terlebih dulu. Setelah lulus kuliah menjadi seorang sarjana aku diperkenankan menikah. Dia tidak menarif siapa pendamping hidupku. Yang penting aku bahagia. Tentunya aku menikah dengan seorang wanita solehah yang aku cinta. Kalau Bapak Mustakim, bapaknya Hanun Memang tidak meminta lebih dariku masalah harta. Karena orang tua Hanun seorang ahli agama. Beliau takmir musholla dan kyai di daerah lingkungannya. Yang dia pinta hanya ikatan dan status perjodohan. Biar dia tidak bingung dalam menjawab kalau ada orang datang meminang anaknya. Namun, aku tidak berani melangkah. Padahal Pak Mustaqim hanya ingin ikatan cinta dengan tanda Ndodok lawang saja dan Talenan.”
“Lalu, mengapa kalian berpisah?”
“Aku menjalin hubungan dengan Hanun ketika baru lulus aliyah. Hanun mondok ke Jawa Timur, sedang aku kuliah di Salatiga sini. Selama setahun mondok di sana Hanun sokat-sakit. Akhirnya orang tuanya tidak tega. Hanung diajak boyong. Berjalannya waktu ada beberapa pemuda yang ingin meminangnya. Namun, pemuda-pemuda itu ditolaknya. Dengan alasan dia sudah punya calon sendiri yakni, aku.”
“Terus….!”
“Waktu itu bapak Hanun menyuruh aku ke rumahnya. Lalu aku datang. Kemudian aku ditanya macam-macam oleh bapaknya. Pada intinya orang tuaku disuruh ke rumahnya untuk melamar putrinya. Setelah aku pulang kuutaran semua pesan bapak Hanun. Kalau Bapak waktu itu menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Tetapi Ibu menolaknya, katanya kami  Masih sangat muda memikirkan perkawinan. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku mundur ke belakang. Aku putus tali itu di hadapan orang tua Hanun. Karena aku tidak mau mengecewakan orang tuaku. Aku tidak akan memupus harapan mereka. Kuputuskan tali cinta itu  juga karena ketakutanku  kalau-kalau Bapak Hanun meminta aku menikah sebelum aku di wisuda.  
“Terus apa permasalahan kamu sampai tidak tidur semalaman. Kamu kan sudah bebas dengan Hanun. Apa yang kamu pikirkan?”
“Tadi sore, aku mendengar kabar  dari Imam kalau Hanun jatuh sakit lagi. Keadaannya sangat kritis. Aku betul-betul sangat terpukul. Aku takut terjadi sesuatu pada dia. Aku ingin pulang tetapi aku tidak enak kepada orang tua. Lagi pula kalau aku pulang, aku tidak mampu menghadapi pertanyaan orang tuaku. Aku telah berjanji kepada bapak dan ibu untuk menjauh dan tidak berani menjenguk Hanun. Selain itu, aku takut  pada Pak Mustaqim. Aku tidak berani menghadapi bapak Hanun itu  jika aku menjenguknya di rumah sakit nanti. Karena Aku telah letakkan cinta dan kasih Hanun di depan beliau saat beliau  meminta bapak ke rumahnya sekitar 3 tahun  yang lalu. Aku bersikap jantan kepada Pak Mustaqim kalau aku sangat mencintai putrinya. Namun, aku tidak berani menjalin hubungan. Aku tidak berani dalam ikatan seperti adat Jawa ndodok lawang terlebih dulu nikahnya belakangan. Aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu membangun masa depan. Hanun aku persilahkan menerima pinangan dari lelaki lain jika berkenan. Itulah  yang menjadi penghalau kepulanganku. Tetapi kalau tidak pulang aku belum tenang karena belum lihat keadaan Hanun secara langsung.” 
 “Ful, kalau kamu ingin pulang menjenguk Hanun, pulanglah! Biar masalah masjid ini aku yang handle. Menghadapi orang tuamu kan gampang a. Cari alasan yang tepat pasti mereka bisa menerima. Kalau kamu takut kepada Pak Mustaqim kamu mengajak teman atau orang yang lebih tua. Aku kira orang tua Hanun malah senang kamu mau menjenguknya. Udah, nanti pagi kamu pulang saja! Soal absen kuliahmu nanti aku yang ngatur!”
“Matur nuwun ya, Duk!”
“Biasa aja kali!”
Ada sebongkah cahaya terang masuk di dada. Keinginan pulang sudah mendorong-dorong segera. Wajah teman-teman terasa memanggil-manggilku agar segera sampai tanah kelahiran. Lebih-lebih wajah Hanun yang sangat memelas yang didekap kesedihan. Erangan sakitnya merobek-robek hatiku. Tangisannya mencabik-cabik batinku. Lolongan teriakannya mengoyak-oyak jiwaku.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Duk!”
“Ya, sama-sama! Itulah guna teman, Kawan! Kita harus saling mendukung dan berbagi rasa. Aku tahajud dulu, ya! Karena satu jam lagi sudah masuk subuh. Oh, ya! kamu tidur saja. Biar aku yang melantunkan adzan subuh.”
“Baiklah, Duk!”
Duki berjalan ke tempat wudhu. Sementara aku pergi ke kamar belakang masjid untuk merebahkan tubuh dan mataku yang lelah. Namun aku tidak juga bisa memejamkan mata. Aku kangen Hanun. Memang dihadapan orang tua kami memang sudah berpisah. Namun, di hati kami masih ada kesetiaan walaupun kesetiaan itu tidak kami ikrarkan. Kami menjalin kesetiaan tanpa janji.”
&&&&&&
“Di mana, ruangannya Kang?” tanya Pak Thoriq kepadaku setelah aku menanyakan kamar tempat Hanun dirawat, di ruang informasi.
“Di Ruang Gading, Pak!” jawabku.
Sengaja tadi aku ke rumah Pak Thoriq memberikan kabar kepada beliau kalau Hanun keadaannya sangat kritis. Berharap juga beliau berkenan menjenguk Hanun bersama kami karena hari ini beliau tidak pergi mengajar. Alhamdulillah Pak Thoriq bersedia. Akhirnya kami bertiga pergi ke rumah sakit ini.
“Ruang Gading itu sebelah mana, Pak!” tanya Kincup.
“Ruang Gading itu ujung timur sebelah pojok utara rumah sakit ini,” kata Pak Thoriq sambil melangkah pergi. Aku dan Kincup mengikuti dari belakang.
“Itu Ruang Gading, Kang! Coba cari Hanun dirawat di kamar nomor berapa.!”
Kemudian kami melototi setiap tempat tidur pasien. Setiap mataku kudaratkan pada tempat tidur berwarna putih itu berdebar-debar dadaku. Dadaku semakin berdebar ketika setiap pasien yang tergeletak di tempat tidur  yang aku tatap ternyata bukan Hanun. Semakin bergetar dada dan tubuhku ketika mataku menangkap sorang gadis yang begitu aku kenal tergeletak tak berdaya tertutup selimut. Matanya terpejam. Sementara hidungnya dijejal selang oksigen. Tidak salah dia Hanun. Masyaallah…! Tubuh Hanun yang montok dan mukanya yang tembem itu hanya tinggal kulit dan tulang saja?
“Ya, Allah…. ampuni aku dan Hanun yang tergeletak tak berdaya di sana! Ampuni semua dosa-dosanya dan beri dia kesembuhan….!” Batinku.  Aku terpaku pada sosok itu sehingga aku lupa memberitahu Kincup dan Pak Thorik kalau aku sudah menemukan Hanun.
“He, He! He, He!” tiba-tiba seorang perempuan berteriak keras kepadaku.
Dia berteriak sangat keras sambil mengangkat-angkat tangannya sampai-sampai dia menjadi pusat perhatian. Kupahamkan siapa yang berteriak itu. Dia adalah ibu Hanun. Aku bermaksud lari meninggalkan ruang.
“He, He, Kamu!” dia mengulangi teriakannya lagi.
Semakin bergetar dada dan tubuhku. Mungkin, dia tahu kalau aku akan meninggalkan ruangan. Aku bergegas berlari karena pikiranku tak menentu. namun Pak Thoriq menangkap pundakku. Dia menghalau pergerakanku.
“Ful, kamu disuruh ke situ!” kata Pak Thoriq
Aku bingung. Jelas di mataku tadi Ibu Hanun mengangkat tangan dengan mengepal bukan melambai. Tetapi, Pak Thoriq mengatakan aku dipanggil ibu Hanun.
“Pak, saya disuruh pergi!” kataku agak tegang, “Ibu Hanun masih marah padaku!”
“Tidak, Ful! Dia menyuruh kamu datang menghampir bukan untuk menjauh!”
Aku tertunduk. Pikiranku tak menentu. Aku merasakan ada tangan lembut memegang pundakku.
“Ful, tolong aku! Ibu mohon padamu! Bangunkan Hanun!” pinta ibu Hanun.
Ternyata tangan lembut yang memegang pundakku adalah Ibu Hanun. Aku masih diam. Mulutku seperti terkunci saja. Aku tidak bisa mengucap apa-apa.
“Adikmu, Hanun sudah dua hari tidak siuman. Tolong, Le! Bangunkan Hanun!”
Karena aku belum bereaksi apa-apa ibu Hanun menyeret aku mendekat Hanun yang sedang koma. Tangisan wanita itu meraung-raung. Hatiku sangat terpukul melihat keadaan Hanun. Yang dulu manja di depanku dan ngelarang-ngelarang aku berbuat ini itu hari ini terbujur kaku.
“Nun, bangun, Nun! Nun, bangun Nduk! Ini ada Mas Iful!”
Hanun masih kaku. belum ada reaksi. Batinku menangis. Seandainya aku bisa berteriak aku akan berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
“Nun, bangun ini aku, Mas Iful!”
Jari-jari Hanun mulai bergerak. Ada kekuatan yang menggerakkan jari-jari tangannya yang tinggal tulang.
“Nun, bangun! Walau aku tidak janji aku akan membahagiakan kamu Nun! Aku janji jika kamu bangun dan sembuh aku tak akan melukai kamu. Aku tak akan pernah menyakiti kamu. Aku akan membuat kamu tersenyum dan bahagia” janjiku pada diriku sendiri.
“Nun, tombo teko, Nun! Tombo teko!” kata seorang perempuan yang sejak tadi memperhatikan aku. “Mas, pegang saja tangannya. Dan bicara pas di telinganya!” katanya memberikan intruksi padaku.
Aku nurut perintahnya. Aku pegang tangan Hanun walau dia bukan mahromku. Tetapi ini darurat demi nyawa. Kemudian kusemprong telinganya.
“Nun, bangun! Ini aku, Mas Iful! Nun, ingat aku tidak! Ingat peristiwa di pulau Panjang, tidak!”
“Hem..! eeng ..!”
Hanun mulai mengeluarkan suara-suara dari mulutnya. Namun suaranya tidak jelas. Tubuh Hanun mulai menggeliat-geliat. Kepalanya diangkat seperti ingin mencari sesuatu. Namun, kepalanya terlempar lagi ke bantal. Dia mencoba mengangkat kepala lagi. Kali ini dengan kesungguhan. Tetapi matanya masih belum dibuka. Tangan kanannya meraba-raba. Sementara tangan kirinya mendekap erat tanganku.
“Alhamdulillah ya, Allah…engkau telah membangunkan Hanun dari komanya” batinku.
“Nun, buka matamu, Nduk!” Siapa yang datang! Coba lihat siapa orang yang di hadapanmu!” kata ibu Hanun.
“Nun, tomboem teko, Nduk! Loromu lungo, yo!” kata orang yang memperhatikan aku tadi.
“Em…emmm! Mas, Iful…! Mas….! Mas, Iful…!” kata Hanun lirih. Namun sudah jelas kudengar.
“Ya, Nun! Ini, aku….! Mas Iful!”
“Mas, Iful…! Mas….!
 “Ya, Nun aku di sini!”
“Kaukah itu,Mas…?”
“Buka mata kamu, Nun!”
Kepalanya digeleng-gelengkan. Sementara tangannya semakin erat mendekap tanganku.
“Mas, Iful…..!
“Ya, Nun…!”
“Apa  aku sedang bermimpi, Mas?
“Kamu tidak bermimpi, Nun! Aku sedang di sini ada di sisihmu. Buka mata kamu, ya!
“Tidak Mas, aku tidak mau buka mata!”
“Kenapa, Nun!”
“Aku takut terjaga! Aku takut mimpiku berakhir!”
“Nun, ini aku! Buka mata kamu! Kamu tidak bermimpi! Aku di sini, Nun!
“Aku tidak akan buka mata,Mas. Aku tak ingin mimpiku terputus. Aku takut Mas Iful pergi meninggalkan aku!
“Aku tidak akan meninggalkan kamu, Nun! Aku akan menunggui kamu sampai kamu sembuh!”
Hanun bangkit dari tempat tidurnya. Dia mencari-cari keberadaanku. Matanya masih tertutup.  Tangannya  meraba-raba tubuhku. Kemudian Dia meraihku. Dia mendekapku. Aku bingung, tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sementara tangan Hanun melingkar kuat di tubuhku. Aku tidak berani membalas pelukannya. Pandanganku kulempar ke Pak Thoriq lalu ke Kincup namun mereka menunduk. Kemudian kualihkan ke Ibu Hanun. Ibu Hanun mengangguk. Akhirnya aku putuskan untuk membalas dekapannya Hindun walau dia bukan mahromku.
Saat tanganku kulingkarkan ke tubuh Hanun, aku tersentak kaget melihat dua sosok orang yang aku kenal berdiri depan pintu. Mereka berdua adalah bapak dan ibu. Seketika kulepaskan lingkaran tanganku. Aku tidak ingin melukai perasaan mereka.
“Dak papa, Le!” kata ibu ketika mendekat dan mengembalikan lingkaranku ke tubuh Hanun.
Aku masih diam. Tidak segera menjawab. Aku belum memahami kata-kata ibu.
“Tadi, bapaknya Hanun ke rumah meminta izin kepada bapak dan ibu. Beliau mau meminta tolong kepada kamu. Kamu diminta menjenguk Hanun barang sejenak. Karena sakit Hanun betul-betul kritis. Bapak dan ibu mengabulkannya. Terus bapak menghubungi kamu, tetapi HP kamu tidak aktif. Lalu bapak menelpon temanmu Duki. Duki bilang kamu pulang. Akhirnya kami putuskan ke sini bersama Pak Mustaqim,” jelas bapak.
Pandanganku kulempar kepada bapak Hanun yang sudah di dekatku. Beliau mengangguk. Wajahnya tampak bahagia. Kemudian aku jabat tangan dan kucium tangan beliau.
“Makasih ya, Nak Iful!” katanya.
“Ya Pak, sama-sama!” jawabku.
“Kalau memang kalian saling cinta, bapak dan ibu merestui cinta kalian! Lagi pula sebentar lagi kamu akan diwisuda. Kamu juga sudah dapat tawaran pekerjaan.”
“Terima kasih ya, Buk! Terima kasih ya, Pak!”
“Ya, Le!” jawab bapak dan ibu bersamaan.
 “Semoga hubungan Kalian langgeng!” kata ibu.
“Amin….!” Jawabku.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda