Rabu, 01 Januari 2020

Kesetiaan Bukanlah Janji 2



Bayangmu terpahat dalam di dalam matahariku
Membuat hasratku kepadamu makin kuat
Tubuhku terbakar oleh api cintamu
Tak tersisa secuilpun raga dan jiwaku
Seluruh usia hidupku kukorbankan demi keindahanmu
Biarlah kau merekah sempurna dan tetap mekar
Walau aku telah layu dan bahkan kering
Biarlah aku terjatuh dalam jurang kepedihan
Asalkan kau terselamatkan
dari kehancuran dan siksa kerinduan
Itulah salah satu puisi yang dikirim Hanun padaku waktu itu. Puisi itu masih aku hapal di kepalaku. Jika aku kangen, lewat puisi itu aku hadirkan bayangan Hanun. Lewat puisi itu Hanun begitu lekat di benak dan batinku. Wajahnya, senyumnya, marahnya, cemburunya, sedihnya tayang di hati, pikiran dan mataku. Walau kami sudah berpisah, Aku akui hati ini masih miliknya. Aku belum bisa berpaling. Deritanya deritaku. Sakitnya sakitku.
Saat ini Hanun harus berjuang melawan sakit. Bahkan,  sudah 2 mingguan dia tergeletak di rumah sakit melawan serangan tipes. Sejujurnya aku ingin berada di samping Hanun saat dia terpuruk seperti ini. Dia butuh  aku. Infus dan obat tak mampu menyembuhkan penyakitnya. Hanya akulah harapannya. Aku pingin pulang  namun tidak berani. Tidak ada alasan jika aku ditanya ibu, nanti. Karena dua minggu lalu aku sudah pulang, waktu cucu Pak De puputan.
Aku takut peristiwa 3 tahunan yang lalu terulang lagi. Saat awal mereka tahu aku menjalin hubungan dengan Hanun. Waktu itu Ayah dan ibu mengintrogasi aku diruang tamu.
 “Duduk, Le!”
Perintah bapak kepadaku selepas magrib waktu itu.  Beliau mencegat aku di ruang tamu saat pulang dari mushola. Aku turuti perintahnya. Aku duduk tertunduk di depan beliau. Beberapa menit, Ibu keluar dari kamar lalu duduk di sebelah bapak. Suasana rumah seperti pengadilan saja. Perasaanku kacau dan takut. Aku punya salah apa sama mereka sehingga aku seperti pencuri yang dihakimi?
Aku tidak berani menatap wajah mereka. Aku juga tidak berani menanyakan ada masalah apa hingga mereka menyuruh aku duduk dihadapan mereka yang tidak seperti biasanya. Biasanya bapak kalau menyuruh aku menggaruk garam di tambak, dia cukup berdiri di depan pintu kamarku dan berbicara di luar kamar. Atau menitip pesan kepada adikku jika bapak menyuruh aku ke tambak untuk memanen bandeng atau menebar nener.
 “Le.., aku mau tanya sama kamu. Jawab seng jujur, yo Le!
Ing..gih, Pak!” jawabku dengan agak gemetar.
“Apa betul kamu suka seorang gadis?”
Aku tersentak kaget. Dadaku terasa mau pecah. Apa bapak menahu hubunganku dengan Hanun? Atau ada maksud lain?
“Jawab, Le! Jawab ae seng tegas lan jujur.” kata ibu.
Aku harus bilang apa. Aku menjawab tidak, aku membohongi perasaanku dan mereka. Kalau aku jawab “iya” aku tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. Ya, Allah…! Harus kukatakan apa di hadapan mereka? 
Piye Le, kok gak jawab!”
Mukaku seperti ditampar. Leher dan kepalaku kaku seperti sarafnya mati. Keringat hangat mulai mengalir dari tubuhku. Keringat itu mulai menjilat-jilat bajuku. Lebih-lebih pantatku. Aku tarik napas dalam. Aku beranikan diri mengangkat kepala namun belum berani menatap mereka.
“Ada apa Pak, Buk, mengapa Jenengan ngendikan ngoten?”
“Gini, Le ! kata Pak Demu tadi sore bahwa orang-orang sekampung membicarakan kamu!”
“Bicara masalah apa, Pak!”
Aku pura-pura tidak tahu. Padahal aku mulai tahu arah pembicaraan mereka. Pasti dia akan menanyakan hubunganku dengan Hanun. Karena setelah sholat magrib tadi aku di panggil Pak De di mushola sebelum pulang. Aku ditanya tentang hubunganku dengan Hanun sejauh mana. Aku sempat terkejut dari siapa Pak De tahu aku ada hubungan dengan Hanun? Pak De menjawab kalau dia tahu dari Wak Ranto yang meminang Hanun untuk Jawawi, anaknya. 
“Orang-orang sekampung berbicara tentang Kamu. Hubunganmu dengan anaknya Mustaqim. Tadi sore, Pak De bilang kepada bapak saat di tambak. Pak De juga ditanya Wak Ranto tentang hubungan kamu dan anaknya Mustaqim. Karena anak Wak Ranto meminang anak gadisnya Mustaqim, namun  pinangannya ditolak. Dengan alasan bapak si gadis itu mengatakan kalau dia sudah ada janji dengan kamu. Apa betul itu Le..?
Aku diam. Mulutku sulit aku gerakkan.
Wong rupamu yo koyok ndok ngono, kok diedani wong wedok le…le..! Le.., kamu ini masih timur! Sekarang ibu tanya, umur kamu berapa?
“18 tahun, Bu?”
“Sebaiknya kamu menyelesaikan kuliahmu dulu. Kalau kamu lulus kuliah dan dapat pekerjaan baru menikah. Siapa gadis yang jadi pilihan kamu ibu pasti setuju.” Kata Ibu
Ngingoni anake wong ora gampang, Le!” kata bapak.
“Lagi pula perjalan hidupmu masih jauh. Aku tidak suka kamu menggantung anak orang. Nanti akan timbul banyak fitnah. Kamu harus menjaga harga diri dan kehormatan keluarga, diri kamu, bapak dan ibu! Kalau memang gadis itu jodoh kamu pasti akan ketemu! Kalau jodoh tidak akan kemana, Le! Tetapi, aku tidak mau kamu menjalin hubungan selama Kamu masih kuliah. Karena apa?! Pertama kamu masih kecil, belum bekerja. Kedua, itu akan menggangganggu konsentrasi belajarmu. Ketiga, apa pantas seorang alumni madrasah pacaran seperti orang kebanyakan. Ketemuan, boncengan dan lain-lain. Di mana otak kamu, Le! Di mana le…!” kata ibu waktu itu dengan suara meledak-ledak.
Kulangkahkan kaki ke luar karena di dalam masjid terasa makin pengap saja. Padahal masjid ini besarnya dua kali lipat masjid di desaku. Bangunan berdiri megah berlantai dua ini tak mampu menampung kepengapan yang menggumpal di dadaku.  Kusandarkan tubuhku di tralis pagar teras masjid. Kutatap langit yang benderang cahaya. Kubiarkan pikiranku mengitari bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang.
Aku bagi bebanku kepada dewi malam yang bersenyum lebar dan bintang-bintang yang bergelantung di angkasa itu. Aku lemparkan beban-beban ini kepada pohon mangga, sawo, dan pohon belimbing yang selalu memberikan keceriaan anak-anak ketika sebelum atau sesudah mengaji di masjid ini.  Kutimpakan pula kepada rumah-rumah mewah yang berpagar besi yang menggambarkan keangkuhan penghuninya. Namun, aku tidak menemukan ketenangan di sana. Malah pikiranku melayang jauh ke kota kelahiran, ke daerah asalku yang jaraknya beratus-ratus meter dari Salatiga ini. Aku membayangkan Hanun tergeletak di tempat tidur putih. Dia merintih-rintih menahan sakit.
“Belum tidur, Ful!”         
Tiba-tiba suara Duki menyibak kesunyian malam. Kudongakkan kepalaku ke mukanya. Mungkin dia bangun ingin salat tahajud.
“Belum, Duk!” Jawabku kepada teman yang mengajakku tinggal di masjid ini menjadi muadzin dan penjaga masjid ini. Sebelumnya aku menjadi penjaga masjid dan muadzin di masjid komplek sebelah. Aku pindah sini karena ajakannya. Di samping gaji bulanan, di sini kita diberi beras untuk makan. Sehingga mengurangi beban hidupku setiap bulannya.
“Jadi kamu belum memejamkan mata barang sejenak semalaman ini?”
Aku mengangguk. Memang, mataku belum terpejam meski sejenak sejak para pengurus masjid ini undur dari rapat rutin bulanan. Mungkin sekitar pukul 00.30 mereka membubarkan diri untuk mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah seharian melawan kerasnya pekerjaan. Aku kepingin pulang tetapi belum punya keputusan. Pikiranku masih kacau makanya aku keluar dari masjid mencari solusi yang tepat.
“Apa yang membuat kamu tidak bisa tidur, Ful?” tanya Duki melangkah duduk di sebelahku.
“Dulu, sebelum aku kuliah di sini, aku jatuh hati pada seorang gadis. Hubunganku cukup serius. Kami mengadakan sumpah janji. Apapun yang terjadi kita tetap bersama. Tak perduli topan, badai, gunung meletus kami akan tetap bersama. Kami juga bersumpah untuk membina rumah tangga. Walaupun rintangan dari orang tua kita, kita akan tetap menerjangnya. Berjalannya waktu kami putus. Kami sudah putus hubungan 3 tahun yang lalu. Namun, hati ini rasanya masih saling memiliki. Hanun sudah berkali-kali dipinang orang tetapi selalu ditampik.”
 “Dia, gadis mana?”
“Dia gadis tetangga desa.”
“Sumpah dan janji kalian begitu menggebu. Akhirnya, hubungan kalian putus tengah jalan. Kok bisa? Apa yang menjadi pemicunya?”
“Sebetulnya tidak ada pertengkaran antara kami. Gimana ya, menjelaskan…!”
“Apa kedua orang tua kalian sebagai penghalang?”
“Masalah jodohku orang tuaku terserah aku. Akan tetapi, ibu dan bapakku meminta aku menyelesaikan kuliah terlebih dulu. Setelah lulus kuliah menjadi seorang sarjana aku diperkenankan menikah. Dia tidak menarif siapa pendamping hidupku. Yang penting aku bahagia. Tentunya aku menikah dengan seorang wanita solehah yang aku cinta. Kalau Bapak Mustakim, bapaknya Hanun Memang tidak meminta lebih dariku masalah harta. Karena orang tua Hanun seorang ahli agama. Beliau takmir musholla dan kyai di daerah lingkungannya. Yang dia pinta hanya ikatan dan status perjodohan. Biar dia tidak bingung dalam menjawab kalau ada orang datang meminang anaknya. Namun, aku tidak berani melangkah. Padahal Pak Mustaqim hanya ingin ikatan cinta dengan tanda Ndodok lawang saja dan Talenan.”
“Lalu, mengapa kalian berpisah?”
“Aku menjalin hubungan dengan Hanun ketika baru lulus aliyah. Hanun mondok ke Jawa Timur, sedang aku kuliah di Salatiga sini. Selama setahun mondok di sana Hanun sokat-sakit. Akhirnya orang tuanya tidak tega. Hanung diajak boyong. Berjalannya waktu ada beberapa pemuda yang ingin meminangnya. Namun, pemuda-pemuda itu ditolaknya. Dengan alasan dia sudah punya calon sendiri yakni, aku.”
“Terus….!”
“Waktu itu bapak Hanun menyuruh aku ke rumahnya. Lalu aku datang. Kemudian aku ditanya macam-macam oleh bapaknya. Pada intinya orang tuaku disuruh ke rumahnya untuk melamar putrinya. Setelah aku pulang kuutaran semua pesan bapak Hanun. Kalau Bapak waktu itu menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Tetapi Ibu menolaknya, katanya kami  Masih sangat muda memikirkan perkawinan. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku mundur ke belakang. Aku putus tali itu di hadapan orang tua Hanun. Karena aku tidak mau mengecewakan orang tuaku. Aku tidak akan memupus harapan mereka. Kuputuskan tali cinta itu  juga karena ketakutanku  kalau-kalau Bapak Hanun meminta aku menikah sebelum aku di wisuda.  
“Terus apa permasalahan kamu sampai tidak tidur semalaman. Kamu kan sudah bebas dengan Hanun. Apa yang kamu pikirkan?”
“Tadi sore, aku mendengar kabar  dari Imam kalau Hanun jatuh sakit lagi. Keadaannya sangat kritis. Aku betul-betul sangat terpukul. Aku takut terjadi sesuatu pada dia. Aku ingin pulang tetapi aku tidak enak kepada orang tua. Lagi pula kalau aku pulang, aku tidak mampu menghadapi pertanyaan orang tuaku. Aku telah berjanji kepada bapak dan ibu untuk menjauh dan tidak berani menjenguk Hanun. Selain itu, aku takut  pada Pak Mustaqim. Aku tidak berani menghadapi bapak Hanun itu  jika aku menjenguknya di rumah sakit nanti. Karena Aku telah letakkan cinta dan kasih Hanun di depan beliau saat beliau  meminta bapak ke rumahnya sekitar 3 tahun  yang lalu. Aku bersikap jantan kepada Pak Mustaqim kalau aku sangat mencintai putrinya. Namun, aku tidak berani menjalin hubungan. Aku tidak berani dalam ikatan seperti adat Jawa ndodok lawang terlebih dulu nikahnya belakangan. Aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu membangun masa depan. Hanun aku persilahkan menerima pinangan dari lelaki lain jika berkenan. Itulah  yang menjadi penghalau kepulanganku. Tetapi kalau tidak pulang aku belum tenang karena belum lihat keadaan Hanun secara langsung.” 
 “Ful, kalau kamu ingin pulang menjenguk Hanun, pulanglah! Biar masalah masjid ini aku yang handle. Menghadapi orang tuamu kan gampang a. Cari alasan yang tepat pasti mereka bisa menerima. Kalau kamu takut kepada Pak Mustaqim kamu mengajak teman atau orang yang lebih tua. Aku kira orang tua Hanun malah senang kamu mau menjenguknya. Udah, nanti pagi kamu pulang saja! Soal absen kuliahmu nanti aku yang ngatur!”
“Matur nuwun ya, Duk!”
“Biasa aja kali!”
Ada sebongkah cahaya terang masuk di dada. Keinginan pulang sudah mendorong-dorong segera. Wajah teman-teman terasa memanggil-manggilku agar segera sampai tanah kelahiran. Lebih-lebih wajah Hanun yang sangat memelas yang didekap kesedihan. Erangan sakitnya merobek-robek hatiku. Tangisannya mencabik-cabik batinku. Lolongan teriakannya mengoyak-oyak jiwaku.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Duk!”
“Ya, sama-sama! Itulah guna teman, Kawan! Kita harus saling mendukung dan berbagi rasa. Aku tahajud dulu, ya! Karena satu jam lagi sudah masuk subuh. Oh, ya! kamu tidur saja. Biar aku yang melantunkan adzan subuh.”
“Baiklah, Duk!”
Duki berjalan ke tempat wudhu. Sementara aku pergi ke kamar belakang masjid untuk merebahkan tubuh dan mataku yang lelah. Namun aku tidak juga bisa memejamkan mata. Aku kangen Hanun. Memang dihadapan orang tua kami memang sudah berpisah. Namun, di hati kami masih ada kesetiaan walaupun kesetiaan itu tidak kami ikrarkan. Kami menjalin kesetiaan tanpa janji.”
&&&&&&
“Di mana, ruangannya Kang?” tanya Pak Thoriq kepadaku setelah aku menanyakan kamar tempat Hanun dirawat, di ruang informasi.
“Di Ruang Gading, Pak!” jawabku.
Sengaja tadi aku ke rumah Pak Thoriq memberikan kabar kepada beliau kalau Hanun keadaannya sangat kritis. Berharap juga beliau berkenan menjenguk Hanun bersama kami karena hari ini beliau tidak pergi mengajar. Alhamdulillah Pak Thoriq bersedia. Akhirnya kami bertiga pergi ke rumah sakit ini.
“Ruang Gading itu sebelah mana, Pak!” tanya Kincup.
“Ruang Gading itu ujung timur sebelah pojok utara rumah sakit ini,” kata Pak Thoriq sambil melangkah pergi. Aku dan Kincup mengikuti dari belakang.
“Itu Ruang Gading, Kang! Coba cari Hanun dirawat di kamar nomor berapa.!”
Kemudian kami melototi setiap tempat tidur pasien. Setiap mataku kudaratkan pada tempat tidur berwarna putih itu berdebar-debar dadaku. Dadaku semakin berdebar ketika setiap pasien yang tergeletak di tempat tidur  yang aku tatap ternyata bukan Hanun. Semakin bergetar dada dan tubuhku ketika mataku menangkap sorang gadis yang begitu aku kenal tergeletak tak berdaya tertutup selimut. Matanya terpejam. Sementara hidungnya dijejal selang oksigen. Tidak salah dia Hanun. Masyaallah…! Tubuh Hanun yang montok dan mukanya yang tembem itu hanya tinggal kulit dan tulang saja?
“Ya, Allah…. ampuni aku dan Hanun yang tergeletak tak berdaya di sana! Ampuni semua dosa-dosanya dan beri dia kesembuhan….!” Batinku.  Aku terpaku pada sosok itu sehingga aku lupa memberitahu Kincup dan Pak Thorik kalau aku sudah menemukan Hanun.
“He, He! He, He!” tiba-tiba seorang perempuan berteriak keras kepadaku.
Dia berteriak sangat keras sambil mengangkat-angkat tangannya sampai-sampai dia menjadi pusat perhatian. Kupahamkan siapa yang berteriak itu. Dia adalah ibu Hanun. Aku bermaksud lari meninggalkan ruang.
“He, He, Kamu!” dia mengulangi teriakannya lagi.
Semakin bergetar dada dan tubuhku. Mungkin, dia tahu kalau aku akan meninggalkan ruangan. Aku bergegas berlari karena pikiranku tak menentu. namun Pak Thoriq menangkap pundakku. Dia menghalau pergerakanku.
“Ful, kamu disuruh ke situ!” kata Pak Thoriq
Aku bingung. Jelas di mataku tadi Ibu Hanun mengangkat tangan dengan mengepal bukan melambai. Tetapi, Pak Thoriq mengatakan aku dipanggil ibu Hanun.
“Pak, saya disuruh pergi!” kataku agak tegang, “Ibu Hanun masih marah padaku!”
“Tidak, Ful! Dia menyuruh kamu datang menghampir bukan untuk menjauh!”
Aku tertunduk. Pikiranku tak menentu. Aku merasakan ada tangan lembut memegang pundakku.
“Ful, tolong aku! Ibu mohon padamu! Bangunkan Hanun!” pinta ibu Hanun.
Ternyata tangan lembut yang memegang pundakku adalah Ibu Hanun. Aku masih diam. Mulutku seperti terkunci saja. Aku tidak bisa mengucap apa-apa.
“Adikmu, Hanun sudah dua hari tidak siuman. Tolong, Le! Bangunkan Hanun!”
Karena aku belum bereaksi apa-apa ibu Hanun menyeret aku mendekat Hanun yang sedang koma. Tangisan wanita itu meraung-raung. Hatiku sangat terpukul melihat keadaan Hanun. Yang dulu manja di depanku dan ngelarang-ngelarang aku berbuat ini itu hari ini terbujur kaku.
“Nun, bangun, Nun! Nun, bangun Nduk! Ini ada Mas Iful!”
Hanun masih kaku. belum ada reaksi. Batinku menangis. Seandainya aku bisa berteriak aku akan berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
“Nun, bangun ini aku, Mas Iful!”
Jari-jari Hanun mulai bergerak. Ada kekuatan yang menggerakkan jari-jari tangannya yang tinggal tulang.
“Nun, bangun! Walau aku tidak janji aku akan membahagiakan kamu Nun! Aku janji jika kamu bangun dan sembuh aku tak akan melukai kamu. Aku tak akan pernah menyakiti kamu. Aku akan membuat kamu tersenyum dan bahagia” janjiku pada diriku sendiri.
“Nun, tombo teko, Nun! Tombo teko!” kata seorang perempuan yang sejak tadi memperhatikan aku. “Mas, pegang saja tangannya. Dan bicara pas di telinganya!” katanya memberikan intruksi padaku.
Aku nurut perintahnya. Aku pegang tangan Hanun walau dia bukan mahromku. Tetapi ini darurat demi nyawa. Kemudian kusemprong telinganya.
“Nun, bangun! Ini aku, Mas Iful! Nun, ingat aku tidak! Ingat peristiwa di pulau Panjang, tidak!”
“Hem..! eeng ..!”
Hanun mulai mengeluarkan suara-suara dari mulutnya. Namun suaranya tidak jelas. Tubuh Hanun mulai menggeliat-geliat. Kepalanya diangkat seperti ingin mencari sesuatu. Namun, kepalanya terlempar lagi ke bantal. Dia mencoba mengangkat kepala lagi. Kali ini dengan kesungguhan. Tetapi matanya masih belum dibuka. Tangan kanannya meraba-raba. Sementara tangan kirinya mendekap erat tanganku.
“Alhamdulillah ya, Allah…engkau telah membangunkan Hanun dari komanya” batinku.
“Nun, buka matamu, Nduk!” Siapa yang datang! Coba lihat siapa orang yang di hadapanmu!” kata ibu Hanun.
“Nun, tomboem teko, Nduk! Loromu lungo, yo!” kata orang yang memperhatikan aku tadi.
“Em…emmm! Mas, Iful…! Mas….! Mas, Iful…!” kata Hanun lirih. Namun sudah jelas kudengar.
“Ya, Nun! Ini, aku….! Mas Iful!”
“Mas, Iful…! Mas….!
 “Ya, Nun aku di sini!”
“Kaukah itu,Mas…?”
“Buka mata kamu, Nun!”
Kepalanya digeleng-gelengkan. Sementara tangannya semakin erat mendekap tanganku.
“Mas, Iful…..!
“Ya, Nun…!”
“Apa  aku sedang bermimpi, Mas?
“Kamu tidak bermimpi, Nun! Aku sedang di sini ada di sisihmu. Buka mata kamu, ya!
“Tidak Mas, aku tidak mau buka mata!”
“Kenapa, Nun!”
“Aku takut terjaga! Aku takut mimpiku berakhir!”
“Nun, ini aku! Buka mata kamu! Kamu tidak bermimpi! Aku di sini, Nun!
“Aku tidak akan buka mata,Mas. Aku tak ingin mimpiku terputus. Aku takut Mas Iful pergi meninggalkan aku!
“Aku tidak akan meninggalkan kamu, Nun! Aku akan menunggui kamu sampai kamu sembuh!”
Hanun bangkit dari tempat tidurnya. Dia mencari-cari keberadaanku. Matanya masih tertutup.  Tangannya  meraba-raba tubuhku. Kemudian Dia meraihku. Dia mendekapku. Aku bingung, tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sementara tangan Hanun melingkar kuat di tubuhku. Aku tidak berani membalas pelukannya. Pandanganku kulempar ke Pak Thoriq lalu ke Kincup namun mereka menunduk. Kemudian kualihkan ke Ibu Hanun. Ibu Hanun mengangguk. Akhirnya aku putuskan untuk membalas dekapannya Hindun walau dia bukan mahromku.
Saat tanganku kulingkarkan ke tubuh Hanun, aku tersentak kaget melihat dua sosok orang yang aku kenal berdiri depan pintu. Mereka berdua adalah bapak dan ibu. Seketika kulepaskan lingkaran tanganku. Aku tidak ingin melukai perasaan mereka.
“Dak papa, Le!” kata ibu ketika mendekat dan mengembalikan lingkaranku ke tubuh Hanun.
Aku masih diam. Tidak segera menjawab. Aku belum memahami kata-kata ibu.
“Tadi, bapaknya Hanun ke rumah meminta izin kepada bapak dan ibu. Beliau mau meminta tolong kepada kamu. Kamu diminta menjenguk Hanun barang sejenak. Karena sakit Hanun betul-betul kritis. Bapak dan ibu mengabulkannya. Terus bapak menghubungi kamu, tetapi HP kamu tidak aktif. Lalu bapak menelpon temanmu Duki. Duki bilang kamu pulang. Akhirnya kami putuskan ke sini bersama Pak Mustaqim,” jelas bapak.
Pandanganku kulempar kepada bapak Hanun yang sudah di dekatku. Beliau mengangguk. Wajahnya tampak bahagia. Kemudian aku jabat tangan dan kucium tangan beliau.
“Makasih ya, Nak Iful!” katanya.
“Ya Pak, sama-sama!” jawabku.
“Kalau memang kalian saling cinta, bapak dan ibu merestui cinta kalian! Lagi pula sebentar lagi kamu akan diwisuda. Kamu juga sudah dapat tawaran pekerjaan.”
“Terima kasih ya, Buk! Terima kasih ya, Pak!”
“Ya, Le!” jawab bapak dan ibu bersamaan.
 “Semoga hubungan Kalian langgeng!” kata ibu.
“Amin….!” Jawabku.

Label:

Minggu, 29 Desember 2019

KESETIAAN BUKANLAH JANJI 1



Kesetiaan Bukanlah Janji 1

Dingin malam mulai merayap ke seluruh tubuh. Menggumpal  di dada, Tajam mengiris relung hatiku. Kokok Si Jalu, ayam jantan milik Kak Lutfi disambut beberapa kokok ayam tetangga yang lain semakin mendebarkanku. Malam  beberapa jam lagi akan digantikan pagi. Perasaanku semakin  dikuasai rasa cemas dan takut. Aku semakin takut berjumpa dengan pagi. Aku takut meninggalkan kota ini. Aku takut berpisah dengan ayah, ibu, dan adikku Andika. Aku takut meninggalkan semuanya.
Entah kenapa perasaan takut dan gelisah yang berkali kuusir selalu kembali lagi hinggap di hati ini. Mengacak-ngacak batin dan perasaan. Mungkin, karena aku belum pernah pergi jauh dari orang-orang yang aku sayangi. Orang-orang yang selama ini  mampu membuat aku mengerti tentang hidup. Mengenal kasih sayang. Sehingga, aku tak ingin berpisah jauh dari mereka. Kalau aku berani mengatakan kepada Ayah, lebih baik aku memilih belajar dan ngaji di daerah sini saja, di daerah Pati dari pada harus ngaji dan mondok di Jawa Timur. Bahkan kalau perlu  tidak usah mondok sekalian.  Tapi, aku tidak berani. Aku tidak punya nyali berhadapan dengan ayah. Aku tidak ingin menjadi anak yang tidak berbakti. Walau aku berat hati aku tetap memenuhi keinginan Ayah dan ibu. Aku ingin mewujudkan harapan mereka. 
Pukul  09.00 pagi nanti jadwal keberangkatanku pergi mondok. Sebetulnya, aku berangkat pergi mondok dua hari yang lalu. Tetapi, dengan banyak pertimbangan Ayah memilih hari ini. Saat ayah memberi tahu kalau keberangkatanku ditunda dua hari lagi, aku bersorak kegirangan. Sikapku  kayak anak kecil yang melihat ibunya pulang dari pasar membawa jajanan. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, mengapa aku bersorak kegirangan, yang jelas ada rasa bahagia dalam dada.
“Baru bangun atau semalaman belum tidut, Nun…?” suara ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku..  
“Eh, ibu! Anu, eh anu baru bangun, Bu!” jawabku gugup
Aku terpaksa berbohong kalau aku baru bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Padahal semalaman aku tidak tidur.
“Baru bangun atau tidak tidar semalaman?”
“Ya Bu, aku tidak bisa tidur?”
“Kalau kamu tidak tidur kasihan ragamu. Tubuh kita butuh istirahat. Apa yang kamu pikirkan Nduk, sehingga kamu tidak bisa tidur semalan?” Tanya ibu sambil mengelus pundak kiriku.
“Semuanya, Bu!”
“Tata hatimu ya, Nduk! Semua ini demi masa depanmu. Ayah dan ibu tidak menjurumuskanmu. Ayah ibu tidak bermaksud menyengsarakan kamu. Ini kan demi kebaikanmu, Nduk! Mumpung masih muda gunakan waktu untuk menuntut ilmu.
“Tapi saya ragu, Bu!”
“Keraguan itu selalu ada. Ibu juga bersedih jauh dari kamu. Ibu juga ingin kamu bersama ibu. Kalau ibu menuruti ego, yang kasihan itu kamu. Karena semua ini menyangkut masa depan kamu. Dulu ibu kepingin sekali mondok atau kuliah. Tetapi tidak dibolehkan Eyangmu. Kalau kamu bisa membaca kitab dan hafal Alquran yang untung kan kamu, Nak”
“Geh Bu, tapi Hanun takut, Bu?”
“Kamu takut apa? Di sana temanmu banyak. Ada Pak yai dan Bu Nyai!”
“Aku takut tidak sesuai yang diharapkan Ibu dan Bapak! Aku juga takut kalau aku tidak betah, Bu!”
“Nduk, jangan bilang begitu dan jangan berpikiran seperti itu. Orang mondok itu harus ikhlas.  Seorang ibu tidak mengiinginkan  jauh dari anak-anaknya, tapi ibu ikhlas melepasmu jauh dari kami karena demi masa depanmu. Kami semua sayang kamu. Karena sayang itulah kami mengirim kamu ke pondok agar kamu bertambah ilmu dan dapat menghapal Alquran, seperti yang diimpikan Bapakmu!”
“Akan Hanun coba, Bu!”
“Dah ya, ibu mau tahajud dulu. Pesan ibu  jangan dipikir terus. Hati kamu harus ikhlas. Baik-baik lah kamu nanti di sana. Tidak usah mikir rumah. Tidak usah mikir kami di sini. tidak usah mikir macem-macem, ya!”
“Geh, Bu!”
  Kemudian ibu melangkah pergi meninggalkan kamarku. Hening kembali marayap. Sebetulnya, aku tidak ingin meninggalkan kota ini bukan hanya harus jauh dari adikku atau kedua orang tuaku. Tetapi, ada orang lain yang membuat aku tidak mampu jauh dengannya. Dia adalah Mas Syaiful. Pemuda yang baru aku kenal sebulan yang lalu yang mampu menyemaikan benih rasa cinta dan belas kasihku di dalam dada. Walau aku kenal dia baru sebulan, namun aku merasa  sudah pernah kenal Mas Iful di kehidupan sebelumnya. Rasanya aku sudah lama mengenalnya.
Mas Syaiful adalah seorang pemuda desa tetangga. Tetapi, selama ini aku belum pernah kenal dia. Padahal  dia bersekolah satu sekolah dengan aku. Dia seangkatan dengan aku. Dia mantan kelas XII IPS 1, sedang aku mantan kelas XII IPA 4. Bahkan Mas Syaiful satu kelas dengan Kak Lutfi anak Pakde Wongso. Namun aku tidak pernah kenal dia. Mungkin, karena aku tidak pernah keluar rumah selain sekolah. Aku  takut dengan ayah. Aku tidak pernah jalan-jalan seperti teman-temanku, pergi ke warnet, pergi ke Luwes , ke Gunung Rowo, ke Muria dan lain-lain. Kalau aku jalan-jalan hanya bersama  dengan keluarga saja.
Kisahku kenal dengan Mas Iful ( panggilan untuk Mas Syaiful)  ketika aku bermalam di  rumah Pak Thoriq. Waktu itu, aku ke rumah Pak Thoriq karena diajak Annisa, dan Tisna. Mereka berdua adalah teman sekelasku. Mereka pergi ke rumah Pak Thoriq ingin dolan ke rumah  adik kelas kami, Bintang, anak Pak Thoriq. Bintang adalah teman satu kamar di pondok dengan Annisa dan Tisna. Ketika itu, Ayah memperbolehkan aku bermalam di rumah Bintang karena keluarga Pak Thoriq sudah dianggap sebagai saudara oleh Ayah. Ayah dan ibuku mengenal baik dengan keluarga Pak Thoriq. Pak Thoriq, istri dan  kelurganya sudah pernah berkunjung ke rumah kami.
Awal bertemu dengan Mas Iful, biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Belum ada cinta pada pandangan pertama. Tidak ada yang aneh dalam diriku. Kulihat juga tidak ada yang aneh dengan diri Mas Iful. Aku menganggapnya wajar-wajar saja. Saat perbincangan di rumah Pak Thoriq. Berkali pandang kita bertemu, aku tidak merasakan keganjilan dalam jiwa. Mas Iful juga kelihatan wajar saja. Tatapan matanya yang mengarah padaku tidak menyiratkan makna. 
Perasaan aneh yang aku rasakan muncul sewaktu perjalanan pulang dari rumah Pak Thorik. Waktu Mas Iful, Kak Lufti dan kawan-kawanya mengantar kami pulang. Saat aku diboncengkan Mas Iful, ada keanehan dalam diriku. Ada hawa hangat yang menyalur ke seluruh tubuh. Hawa hangat itu membuat hatiku diacak-acak, diaduk-aduk  dengan perasaan yang tak tentu. Ada rasa gelisah, kacau, berdebar tak tentu. Disamping itu, dalam jiwaku terselip rasa aman, nyaman dan damai yang tak pernah aku rasakan bersama orang-orang yang selama ini mengelilingi aku. Perasaan itu tak seperti perasaanku kepada ayah dan ibuku. Perasaan itu juga tidak seperti perasaanku kepada adikku Andika dan Mbak Aini, kakakku.
Apalagi saat di pertigaan jalan, saat Mas Iful tiba-tiba menarik rem motornya karena ada orang menyeberang secara tiba-tiba yang tidak tertangkap oleh pandangan Mas Iful. Secara reflek tanganku meraih pinggang Mas iful dan mencengkeram kuat pinggangnya. Jantungku bergetar keras. aku mulai merasa ada hal yang tidak wajar dalam tubuhku. Ditambah lagi saat selayang pandang di depan rumah, saat dia menurunkan aku. Walau masih remang, aku dapat menangkap senyumnya.      
Setelah perkenalan di rumah Pak Thoriq kejadian-kejadian aneh dalam tubuhku semakin berlanjut. Perasaan aneh itu mencapai puncak pada saat berekreasi ke Jepara di Pantai Bandengan. Mas Iful mulai mendekati aku ketika perjalanan pergi ke Pulau Panjang. Waktu itu aku terkejut dia duduk di sebelahku.
“Dik, boleh aku duduk di sini?”
Kata-katanya mendebarkan jantungku. Aku tak mampu mengucapkan kata-kata. Aku hanya senyum-senyum saja dan menganggukkan kepala. Kemudian Mas Syaiful duduk di sebelahku. Sebelum duduk dia mendaratkan pandangannya ke arahku. Aku jadi grogi dan malu. Untuk menutupi rasa malu dan tersipu, aku buang mukaku ke kiri, kupandangi ombak yang mengguyur kapal kecil yang kami tumpangi, kapal jasa penyeberangan antara Pantai Bandengan dengan Pulau panjang. Mas Saiful juga membuang mukanya ke kiri pura-pura melihat aksi teman-teman yang lucu. Padahal aku tahu dia juga tersipu.
“Ya…!” Ledek Kak Lutfi kepada kami.
“Wah, cocok Ful!” kata Marwan ganti meledek kami.
“Mana kameranya? Mana-mana!” ledek Titik.
“Nih, kameranya!” kata Icha.
Titik langsung merampas kamera dari Icha. Kemudian ia menjebrat-jebret mengambil gambar kami. Aku dan Mas Iful hanya senyum-senyum menyaksikan tingakah-laku teman-teman.
“Sek-sek, aku mau foto bersama Mas Saiful dan Mbak Hanun! Ayo foto, Tik!” kata Kincup dengan mendaratkan badannya di antara aku dan Mas Iful. “Ayo a, Tik dang difoto!”
“Siap…!” kata titik dengan mengarahkan kameranya kepada kami bertiga.
Kurang lebih seperempat jam kami sudah sampai Pulau Panjang. Selama perjalanan kami hanya bungkam. Entahlah, aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Mas Syaiful juga begitu. Badanku dingin, menggigil bukan karena angin dan ombak, tapi aku tak tahan menahan gejolak yang ada di dada. Perasaan meluap-luap tak tentu arahnya. Aku tak punya kata-kata. Kalimat yang sudah aku rancang tak mampu aku keluarkan dari mulutku. Tenggorokanku terasa tercekik. Sehingga kupilih diam.
Setelah sampai di Pulau Panjang. Aku dan teman-teman mengelilingi pulau penuh misteri itu. Aku dan Mas Iful tidak melakukan pembicaraan yang serius. Aku, Mas Iful dan teman-teman hanya berjalan mengitari pulau kecil itu. Berfoto dan ketawa-ketawa kecil melihat tingkah laku Kincup yang sok jago. Kincup kadang foto menendang, melompat, menggunting dll. Tetapi, aku selalu dibuat tersipu Mas Iful. Kadang dia menatap aku lama. Kadang mencari perhatianku. Kadang mencuri perhatian dariku.
Setelah waktu yang diberikan kepada kami oleh jasa penyeberangan kurang sepuluh menit. Tiba-tiba Mas Iful memberi isyarat kepadaku untuk menjauh dari rombongan teman-teman. Aku anggukkan kepala tanda persetujuan. Kemudian, dia mulai memisahkan diri dari rombongan. Aku menyusul belakangan.
“Ehem…, ehem..! Ayo, arep do lapo!” teriak Kincup ketika melihat kami memisahkan dari rombongan.
Seketika kami jadi puasat perhatian teman-teman. Semua teman memandangiku dengan melempar seyum. Aku hanya senyum-senyum saja.
“Sialan Kincup tidak bisa diajak colongan,” batinku.
Kemudian aku melangkah menyusul Mas Iful.Tepat, di bawah rimbun pepohanan dekat batu-batuan pinggir pantai dia berhenti. Dia memandang ombak yang datang menggulung menghantam batu-batu karang. Mas Iful menarik napas panjang. Lalu membalikkan tubuhnya. Matanya menatap mataku dengan tajam dan dalam. Wajah Mas Ipul tampak kaku. mungkin menahan grogi.
“Aku…!” katanya terputus  membuat aku semakin deg-degan.
membacakan sebuah puisi. Apa kamu mau mendengarkan?”
“Mau!” kataku sambil kuanggukkan kepalaku.
“Puisi ini kutulis untuk mewakili jiwa dan batinku.”
Aku mengangguk lagi. Kemudian Mas Saiful mengelurkan kertas dari sakunya. Sebelum membaca puisi, Mas Ipul memetik kuncup bunga yang berada di sampingnya. Bunga itu diberikan kepadaku. Sebagai tanda cintanya kepadaku. Aku semakin terharu. Kemudian dia menarik napas tiga kali. Dia menerawang jauh ke angkasa. Perlahan dibacakan perlarik puisinya.
Sukmamu mendekat
Aku terdekap
Matamu menatap lekat
Aku tersekat
Teringat semilir angin fajar
saat harum tubuhmu menusuk hening
 Aku Menggigil
Lewat senyum dan tatapan mata
satukan jiwa
Belum pernah terucap kata
Pintu dan jendela terus terbuka
Janji setia belum tercipta
gelora jiwa terus ada
Rinduku menggebu
menggunung
 Menggantung
Kau kaisi
kau habisi
gelora hidup
Tanpamu kuredup
Satu malam membuah erat
Batin kian dalam tertancap
Kamu akan jadi milikku selamanya
Selamanya Kamu akan jadi milikku
Perasaanku bertambah meluap-luap, menggulung dan menggunung. Setiap kata yang diucapkan membuat aku melambung di atas awan. Perasaanku berenang-renang di setiap untaian kata-katanya. Sangat sempurna ucapan cintanya. Sangat menyentuh ucapan janji setianya. Walau ucapan cintanya, walau janji setianya lewat puisinya. Akan kuikatkan hatiku pada hatinya. Mas Syaiful juga menandaskan, janjinya tidak hanya diucapkan  tetapi akan dibuktikan dengan membawa rombangan arakan pengantin ke rumahku.   

……….
Kamu akan jadi milikku selamanya
Dan Selamanya Kamu akan jadi milikku

Dua baris terakhir itulah yang masih aku ingat sampai saat ini dan akan aku simpan dalam lubuk hati selama-lamanya. Dua baris terakhir itulah yang akan aku perjuangkan kelak nanti dihadapan ayah dan ibu. Setelah kejadian di Pulau Panjang itu, mengalirlah kata-kata cinta, janji-janji setia terucap tidak terkira. Selalu muncul dan bertebaran bagai jamur di musim hujan. Kami WA nan, teleponan siang dan malam.
 Sehingga setiap detik, menit, jam, dan hari aku semakin terbayang wajah Mas Iful. Perasaan rindu, ingin bertemu, ingin memandang wajahnya dan mencurahkan beban hidup kepadanya semakin kuat. Imajinasiku kadang keblabasan. Saat aku menghadiri pernikahan tetangga atau teman, ketika kulihat mereka duduk di kursi pengantin, kubayangkan yang duduk di kursi adalah aku dengan Mas Iful. Kadang juga, kulihat ada orang berboncengan di jalan, si wanita memeluk erat suaminya, kubayangkan aku berboncengan dengan suamiku, Mas Iful dengan ku peluk erat harum tubuhnya.
Kemarin siang aku janjian bertemu  Mas Iful sebentar di pojok desa. Mas Syaiful memberi aku sebuah sarung kepadaku sebagai teman di pondok nanti dan untuk menguatkan cintanya. Aku balas pemberiannya itu, dengan kuberikan kaos kesukaanku kepadanya  untuk meredam rindunya. Setelah melakukan barter kami sepakat berpisah. Sebelum berpisah Kami bertatap mata sejenak.
 “Selamat mencari ilmu ya, Dik! Baik-baik di sana ya!” katanya sebelum kita berpisah.
“Ya, Mas terima kasih! Mas Saiful juga baik-baik ya kalau nanti kuliah di Salatiga!”
“Ya, Dik! Semoga cita-cita dan keinginan kita tercapai!”
“Amin…!” kataku.
“Mumpung masih muda mari kita cari ilmu sebanyak-banyaknya. Mari kita singsingkan lengan. Mari kita seka kerinduan demi terwujudnya impian. Setelah itu baru kita membangun mahligai rumah tangga. Aku janji, setelah lulus kuliah dan sudah mendapat kerjaan aku akan datang menemui Bapakmu.
“Makasih ya Kak, atas janji setiamu!. Sampai kapanpun aku akan pegang janjimu itu!”
“Sudah ya Dik, yuk kita pulang kalau dilihat orang tidak enak. Nanti tersebar fitnah!”
“Heem…, Kang!”
“Assalamualaikum….!” Katanya sambil berlalu.
“Waalaikum salam….!” Jawabku.



Label:

Senin, 07 Agustus 2017

HARAPAN DI UJUNG SENJA


Harapan di Ujung Senja 
cerpen: Pak Guru Top

Gema takbir dan bunyi beduk yang  aku takuti mengiris kalbu dua tahun yang lalu, kini mampu menopangku dalam pergantian waktu. Ketegaran membuahkan energi membungkus jiwaku yang erat. Walau hati hancur berkeping. Aku  mencoba tetap tegar menjalani hidup ini. Aku  anggap kejadian selama ini merupakan cobaan dan ujian dari Allah yang harus dihadapi dan diselesaikan. Entah berapa bulan atau berapa tahun aku harus hidup seperti ini. Selagi aku masih diberi hidup aku akan tetap hadapi cobaan-cobaan ini. Aku tetap berharap jalan itu pasti ada.  Aku yakin pada Tuhan. Setiap tetes keringat yang aku peras pasti ada perhitungan.Tuhan pasti mengganti pengorbananku seperti Tuhan mengganti pengorbanan Nabi Ibrahim yang menyembelih putranya, Ismail dengan kambing dari surga.   
Jika aku tidak dihadang tanggung jawab kedua putriku, pastinya senja ini merupakan senja pendak pindho hari  kematianku. Dua tahun yang lalu aku jatuh terpuruk dalam pangkuan derita yang berliku seperti  tangga yang membelit tanah merah. Dimana waktu  gema takbir mengiringi jeritan batinku. Kala itu gemuruh lantunan kebesaran Ilahi Robbi bebarengan raungan tangisku. Mas Jarwo secara gamblang menantangku untuk hengkang dari rumah ini. Jika aku tidak berkenan, dia yang minggat dari rumah dengan membawa Ratmini pergi. Waktu itu rasa maluku membuat aku jauh dari harapan hidup. Malu pada tetangga dan sanak saudara. Lebih-lebih malu kepada ibu dan bapak yang telah bersikukuh menolak perkawinanku dengan lelaki yang aku pilih menjadi imam.
 “Piye,  Nduk ! Benar to kandane wong tuwo to. Orang tua itu punya mata batin yang kuat. Orang tua bersikap untuk kebaikan anaknya. Tidak ada orang tua yang mau melihat anaknya sengsara. Kita itu harus melihat orang dengan hati tidak hanya dengan mata dhohir saja. Melihat orang, jangan hanya lihat bungkusnya saja, tetapi juga lihat kedalaman hatinya. Ketampanan dan kekayaan tak akan menjamin kebahagiaan. Orang tua itu punya firasat dan mata batin yang kuat yang tidak dimiliki oleh anaknya.”
Itulah kata-kata ibu kala mendengar Mas Jarwo minggat bersama Ratmini. Seandainya perkawinanku dengan Mas Jarwo adalah kehendak orang tuaku, pasti sejak dulu aku sudah kabur dari rumah ini dengan membawa kedua anakku. Aku tak peduli bapaknya di mana rimbanya. Biarlah aku yang mencetak hidup mereka. Insyaallah aku sanggup untuk membesarkan kedua putriku dengan tanganku. Aku juga pasti sanggup membiayai pendidikan mereka dengan kerja kerasku. Karena selama hidup dengan Mas Jarwo akulah yang menghidupi keluarga.
Akan tetapi, perkawinanku dengan Mas Jarwo karena pilihanku sendiri. Dulu, telingaku tuli akan nasihat orang tua. Aku ngotot menikah dengan Mas Jarwo di hadapan ayah dan ibu.  Aku memperjuangkan Mas Jarwo dengan berbagai cara agar diterima mereka. Lebih-lebih di hadapan ibu, karena ibulah orang yang menentang keras aku menikah dengan anak pemilik kebun tebu itu. Namun, kini perjuangan dan pengorbananku tertumpah sia-sia. Lelaki sebagai tempat aku berteduh, melepas tanggung jawabnya. Memutus benang suci perkawinan tanpa ada bukti pengadilan dengan membawa kabur Ratmini, tetanggaku.
Ketegaranku pulih karena Yu Darminah. Tiap hari dia membangun kembali jiwaku yang semakin rapuh. Tidak hanya ketika jagong saja. Saat  bekerja mulut Yu Darminah tidak pernah diam. Kebetulan kami bekerja satu perusahaan di perusahaan meubel milik Wak Karto, tetangga desa.
“Ratmini kwi wong kenther…, ra sah bok rasakno! Yang penting kamu kerja untuk kebutuhanmu dan kedua anakmu! Yem-yem atimu! Kalau kamu sakit kasihan anak-anakmu. Mereka juga ikut sakit!”
Nggeh, Yu!” jawabku.
Yu Darminah orangnya keras. Bicaranya ceplas-ceplos. Kalau orang hanya mendengar suaranya saja, mengira kalau Yu Darminah ini orangnya tinggi dan besar. Itu salah. Suara Yu Darminah tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya. Orangnya pendek. Tingginya hanya sebahuku. Kalau orang-orang menyebut dia, manusia setengah batu. Namun, hatinya baik. Dia berkata jujur dan apa adanya.  
Sampai sekarang, kuping Yu Darminah akan memerah jika mendengar nama Ratmini. Karena Kang Kartono, suaminya pernah digoda perempuan ganjeng yang di tinggal lelakinya merantau di Arab Saudi itu. Bahkan Ratmini pernah dilabrak Yu Darminah. Pertengkaran adu mulut pun terjadi karena merasa benar. Setelah adu mulut dilanjutkan saling menjegal. Lalu dilanjutkan jambak-menjambak rambut. Untung Pak Bayan datang memisah perkelahian mereka. Kalau tidak pasti baik Yu Darminah maupun Ratmini babak belur. Soalnya orang-orang yang berkerumun di tempat kejadian tidak berani melerai perkelahian mereka. Orang-orang yang melihat kejadian secara langsung hanya menonton.
“Menikmati tontonan geratis!” kata mereka.
“Savana, kamu harus rebut suami kamu! Dia adalah suami kamu yang sah! Seret Ratmini ke kantor polisi! Kamu jangan hanya diam saja. Hak kita harus kita rebut kembali. Kita jangan mau diinjak-injak orang lain!”
Itulah  prinsip yang selalu didengungkan kepadaku oleh Yu Darminah bahwa kita jangan pernah mau dipermainkan orang lain. Harga diri kita jangan sampai diinjak-injak. Hak  yang telah menjadi milik kita diambil orang lain, kita harus merebut kembali hak itu bagaimanapun caranya. Waktu itu aku hampir termakan kata-kata Yu Darminah. Aku selalu mencari informasi tentang Ratmini dan Mas Jarwo tinggal. Kalau  tahu alamatnya aku akan melabrak dia dan menyeret Ratmini ke kantor polisi.
Namun, aku urungkan. Aku dipenggak ibu. Prinsip Yudarminah memang jauh berbeda dengan prinsip yang ditekankan ibuku. Ibu menolak keras sikapku yang akan melabrak Ratmini. Walau ibu, orang yang pertama kali menolak perkawinanku dengan Mas Jarwo. Beliau mengajarkan prinsip menjadi wanito utomo. Wanito utomo adalah seorang wanita harus bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Menjadi istri yang baik itu melaksanakan kwajiban sebagai istri, patuh dan tuhu pada suami juga selalu punya jiwa melayani. Sebagai istri harus tetap mengabdi pada suami. Seorang wanita harus jadi ibu untuk anak-anaknya. Predikat ibu tidak hanya status orang tua dan melahirkan saja. Tetapi lebih dari itu.
Kemudian aku lebih memilih sikap seperti ibu. Memang, banyak orang menganggapku terlalu baik  atas sebuah prinsip yang selama ini aku pegang teguh.  Yakni, aku akan menjadi istri yang setia meskipun suamiku telah mengkhianati. Siang malam aku lantunkan doa.  Aku selalu berharap Mas Jarwo sadar. Dia mampu membawa bahtera rumah tangga menuju pulau impian. Mewujudkan kebahagiaan yang dijanjikan sebelum mengikat tali pernikahan. Namun, kebahagiaan yang ditawarkan Mas Jarwo 8 tahun yang lalu kini di ujung senja. Petang sudah membayang. Harapan itu akan tenggelam ditelan malam. Perahu rumah tanggaku akan tenggelam di malam yang pekat cahaya.
Karena, hari ini aku akan meninggalkan rumah ini beserta kenangannya. Aku akan tinggal di rumah ibu untuk membangun kembali harapanku yang kian rapuh. Senja ini, aku akan meninggalkan rumah yang sudah menyatu dalam hidupku bertahun. Aku akan tinggal di rumah yang mengisahkan kenangan masa kanakku bersama dua adikku. Di situlah tempat yang tepat untuk membesarkan dua belahan jiwaku. Aku akan mencari pekerjaan sambil menunggu keputusan  pengadilan agama atas gugatan cerai yang aku layangkan. Karena aku sudah menunggu Mas Jarwa selama dua tahunan, namun dia tidak kunjung pulang. Tentu dia memilih hidup bersama Ratmini dibanding aku dan kedua anaknya.
 “Nduk! Kamu harus memikirkan kedua putrimu. Mereka butuh pendidikan yang baik. Mereka berdua butuh kekuatan mental untuk menyelam ke dalam samudra kehidupan yang lebih jauh. Kalau mereka di sini, aku takut mental Amila dan Akila akan mengkerut gara-gara tingkah laku bapaknya,”  kata ibu ketika menghampiri aku berkemas.
Ibu sepertinya melihat keraguan pada diriku. Memang, keraguan yang ada dalam hati ini belum bisa aku singkirkan. Aku akui, sangat berat meninggalkan rumah ini walau rumah ini adalah rumah pemberian mertuaku, bukan hasil jerih payah aku dan Mas Jarwo. Rasanya hidupku sudah menyatu dengan rumah yang aku tinggali selama enam tahunan ini. Di sini, banyak liku perjuangan yang aku tumpahkan demi menunjukkan kebahagiaan di depan bapak dan  ibu. Aku tidak tega melihat tangis kedua mertuaku. Dia begitu menyayangi aku dan kedua putriku. Demi aku dan kedua putriku ayah mertuaku mengusir Mas Jarwo waktu itu.
“Savana, hidup ini keras…!  Kalau kamu berjuang sendiri di sini ibu tidak tega. Kamu ini seorang wanita. Kamu tidak mampu mengurus dua anakmu sendirian. Lebih-lebih di daerah terpencil seperti ini yang jauh dari jangkauan. Untuk itu, tata hatimu. Mantapkan. Mari kita tinggal di Tlogowungu. Biar ibu dan Bapak bisa ikut menjaga anak-anakmu dan juga ikut mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan,” kata ibu lagi sebelum aku belum sempat menjawab kata-kata beliau.
 “Ya, Bu! Aku sudah ikhlas akan takdirku. Hari ini aku sudah mantap untuk tinggal di Tlogowungu bersama ibu dan bapak!”
“Itu yang kami inginkan Nduk! Di sana kami ikut menjaga Amila dan Akila.”
“Kita berangkat setelah sholat Isya, ya Bu!”
Entah mengapa aku ingin mengulur waktuku berangkat ke Tlogowungu. Padahal kemarin-kemarin hatiku sudah mantap tinggal bersama ibu.
“Kenapa harus menunggu Isya’ Nduk! Setelah sholat magrib kan bisa. Lebih cepat pergi dari sini kan lebih baik! Mengapa harus menunggu Isya’? Kita berangkat habis sholat magrib, ya?
Aku hanya mengangguk. Kemudian aku berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah keraguanku semakin tumbuh berkembang menyaksikan sengguk tangis kedua mertuaku. Di ruang tengah juga ada Yu Darminah, Pak De Tamam,dan keluarga mertuaku yang lain. Mereka ke sini karena ingin mengucapkan selamat jalan kepadaku. Mereka semua menyayangi kami. Mereka menginginkan aku dan kedua putriku tetap tinggal di sini meskipun Mas Jarwo tidak pernah kembali.
Aku berlari ke kamar.  Kulempar tubuhku ke kasur. Kuraih bantal untuk menyumbal mulutku. Aku menangis sekeras-kerasnya.
“Mas, mengapa kamu menggali lubang dalam bahtera rumah tangga kita sehingga bahtera itu hampir tenggelam? Masihkah ada harapan  kita mendayung bersama dalam satu bahtera menuju pulau impian seperti yang pernah kamu tawarkan kepadaku, di ujung senja di hutan kota? Mas Jarwo, tidak adakah setetes rindumu yang mengalir di hatimu untuk memaksamu kembali ke rumah kita, Mas!
Ada tangan lembut mengelus rambutku. Aku berusaha menahan tangisku.
 “ Nak, aku ikhlaskan engkau kembali ke Tlogowungu. Aku titip kedua cucuku, ya! Aku berharap kamu jangan memutuskan tali hubungan kita ya, Nak!”
Ternyata tangan itu tangan ibu mertuaku. Aku usap air mataku. Aku bangkit dan merangkul ibu mertuaku.
“Insyaallah tidak , Buk! Kami akan selalu berkunjung ke sini setiap ada waktu.”
Aku mantapkan hati untuk meninggalkan rumah ini dan pergi dari kehidupan Mas Jarwo. Aku akan menggugat cerai. Mas Jarwo bukanlah seorang imam yang baik.  Karena sejak berumah tangga sampai punya anak dua Mas Jarwo tidak pernah mengerti tanggung jawab sebagia suami atau bapak dari anak-anaknya. Pekerjaannya keluyuran dengan lelaki pengangguran. Pulang malam dalam keadaan sempoyongan. Mabuk di jalan sudah langganan. Dia selalu membuat malu keluarga.
Selama berumah tangga setetas kebahagiaan tidak pernah aku dapatkan  dari lautan kebahagiaan yang ditawarkan Mas Jarwo sebelum pernikahan. Masalah terus mengalir bagai air sungai di musim penghujan. Dua setengah tahun  yang  lalu, Mas Jarwo ditangkap polisi karena mengangkut jati illegal bersama empat temannya, Darmin, Manto, Heru dan Danang. Sehingga Mereka berlima harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mas Jarwo dan teman-temannya harus mendekam di penjara Blora selama enam bulan.  Waktu itu setiap satu minggu sekali, aku harus mondar mandir ke penjara Blora untuk mengantar kiriman. Kiriman uang, pakaian bahkan pulsa. Selama itu juga aku harus bekerja mencari uang untuk menopang ekonomi keluarga. Aku juga menjadi ibu dan juga bapak untuk kedua anakku.
Satu bulan setelah keluar dari penjara, Mas Jarwo ulah lagi. Dia diarak ke balai desa dengan badan telanjang. Dia diarak warga sekampung karena ketangkap basah berselingkuh dengan Ratmini. Mereka digropyok warga di belakang warung kopi wanita ganjeng itu saat mereka berdua menyalurkan hasrat nafsu binatangnya tanpa ada pertimbangan dosa dan larangan agama. Untung waktu itu, aku dan kedua anakku sedang tidak ada di rumah. Aku  dan kedua putriku menginap di rumah ibu di Tlogowungu.
“Buk, sudah adzan magrib. Saya mau mengambil air wudhu dulu. Saya akan sholat magrib dulu agar hatiku tenang. Karena sejak tadi hatiku berdebar-debar.” kataku kepada ibu mertuaku.
Kemudian aku berjalan ke belakang menuju dapur mengambil air wudhu. Lalu mengerjakan sholat magrib tiga rakaat. Setelah sholat magrib kutumpahkan keluh kesahku kepada yang punya hidup.
“Ya Allah… aku ikhlas akan takdirku. Berilah hambamu kekuatan untuk menjalani semua kehendakmu. Ampuni hamba yang kadang goyah dalam uji-Mu. Alirkan Ridho  pada hamba dan anak cucu. Bimbinglah hamba dalam setiap jengkal langkah. Ampuni dosa-dosa hamba di setiap hembusan napas. ”
Kujalankan tasbihku sampai jauh masuk ke relung hatiku yang teramat dalam. Lafal Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rohim kuhembuskan ke seluruh tubuh. Kusalurkan ke setiap helai bulu, rambut, kulit, urat, darah dan dagingku.  Memupuk mahabbahku agar sifat Rohman dan Rohim-Nya mengalir dan hinggap di tubuh dan jiwa. Mengoyak dan memuntahkan rasa benci dan dengki yang lama bersarang dalam segumpal darah yang ada dalam dada.
Kumasuki  dunia kedamain yang jauh… Sukmaku melayang-layang membumbung jauh ke angkasa. Menghalau kenyataan hidup yang kian lama memberat. Melupakan pil  pahit kehidupan yang aku telan selama bertahun. Membuang kebencian kepada seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab kepada anak istri. Memuntahkan dengki dan dendam kepada seorang wanita yang telah nyata merebut suami orang. Memaafkan manusia-manusia yang telah bersikap sewenang-wenang. Aku memohon petunjuk kepada Tuhan Ilahi Robbi, Tuhannya semua makhluk di alam ini agar aku dapat menapaki hidup di dunia yang penuh persaingan.  
Walau aku hanya seorang wanita, aku akan bekerja sekuat tenaga lelaki. Sebagai ibu, aku akan melakukan terbaik untuk kedua putriku. Biarlah Mas Jarwo hidup dengan Ratmini. Sedangkan,  aku akan hidup dengan kedua putriku. Mereka akan aku jauhkan dari kehidupan Mas Jarwo. Orang yang selalu makan hatiku dan mencoreng kening keluarga. Dua tahun sudah aku membuka diri untuk Mas Jarwo. Namun, dia tak kunjung kembali. Sudah tiba saatnya aku bangkit.
“Ayah….!”
“Hore…., ayah pulang!”
“Ayah pulang!”
Aku tersentak kaget. Aku mendengar teriakan Amila dan Akila. Apa Mas Jarwo pulang? Aku semakin tak menentu. Jantungku berdebar-debar. Rasa bahagia menyelimuti dada. Ada pengharapan dalam hidup ini. Kulepas mukena. Aku akan melihat ada apa sebenarnya. Tetapi aku dikejutkan sosok seorang lelaki yang aku kenal dan selama ini aku rindukan, berdiri di depan pintu.
“Mas Jarwo!” teriakku dalam hati.
Mas Jarwo berjalan mendekatiku. Langkahnya tampak memberat dan ragu-ragu. Mungkin dia memikul beban kesalahan yang menumpuk di pundaknya.
“Dik Ana, maafkan Mas ya!”
Aku diam. Aku tidak tahu harus bilang apa. Sebetulnya hati ini bahagia Mas Jarwo pulang ke rumah. Penantianku tidak sia-sia. Mungkin ini yang menyebabkan hati ini tidak karuan sejak sore tadi.
“Dek, maafkan kesalahan dan kekhilafan Mas ya! Aku telah salah! Aku telah khilaf. Aku janji tidak akan mengulangi. Aku janji wanita yang aku cintai hanya kamu.
Aku masih diam. Sebetulnya aku ingin menerima dia kembali. Kangenku telah membuncah. Ingin aku memeluk suamiku. Namun, aku kembalikan untung dan ruginya jika bersama lagi Mas Jarwo. Dia mengatakan insyaf bisa saja lahirnya. Tetapi, batinnya tidak.
“Mas pasti tahu perasaanku. Karena ungkapan perasaanku ke kamu selalu aku buat status facebookku. Aku akui aku mencintaimu, Mas! Tetapi yang aku pikirkan sekarang ini bukan hanya cinta. Tetapi masa depan kita dan kedua anak kita. Sudah aku putuskan dengan sangat matang aku ingin pisah dengan Mas Jarwo. Jan ji-janji Mas Jarwo waktu pacaran tidak pernah terwujudkan. Pikiranku sudah lelah, Mas! Aku tidak bisa menerima kamu sekarang ini. Entah suatu hari nanti. Karena hati ini sudah terlanjur hancur berkeping.”
..........
(Bersambung)
 



Label: