GADIS MALAM SATU SURO
BAGIAN #1
PERJALANAN
KE MAKAM PRABU ANGLING DARMA
Kurasa malam belum larut benar. Namun
jalanan sudah sangat lengang. Sepi pemakai jalan. Tidak kutemui lalu atau lalang kendaraan. Baik
yang searah maupun berpapasan. Di mana-mana hanya sepi dan gelap. Raja Malam
betul-betul sempurna mengembangkan sayapnya. Hanya suara si biru, motorku tanpa
teman memecah sunyinya malam. Mengaum-ngaum suaranya bak singa kelaparan. Lebih-lebih
Ipung yang memegang stang. Si biru dibleyer-bleyer, diajak meliuk-liuk
menyusuri jalan dengan diikuti gerak tubuhnya layaknya seorang pembalap
profesional.
Semakin kencang Ipung menarik
setang semakin tebal perasaan was-was dan cemas itu datang.
“Pelan-pelan
saja Pung!”
“Tenang aja Kang…!”
“Pelan-pelan saja..!”
“Kenapa?”
“Eman, nyawa, Pung!”
“Siap!”
Ipung memperlambat si biru. Jalan
si biru semakin pelan. Bahkan kecepatannya dengan langkah orang berjalan, masih
kencang orang jalan.
“Ini, apa-apaan, Pung!”
“Katanya, disuruh pelan…., Kang!”
“Tapi, tidak gini juga, kan! Masak
jalan motor lebih kencang orang berjalan kaki!”
“O, ingin kencang, lagi? Siap…!”
Ipung langsung membleyer si biru.
Menarik gas dengan kencang.
“Alah…boh pung!
Ngomong kok karo kuwe. Ngentekno cangkem!”
“Katanya minta yang kencang, Kang!
Ya, tak bleyer! Ya dah, aku kurangi kecepatan.”
Kemudian ia memperlambat kecepatan
si biru.
“Gimana Kang, temen-temen!”
“Sebentar!”
Kutoleh ke belakang. Namun hanya gelap yang kutangkap.
Motor teman-teman belum terlihat.
“Pung, kita berhenti saja!”
“ Apa Kang!”
“Hentikan si biru!”
“Kenapa, kang!”
“Teman-teman, tidak ada di belakang
kita!”
“Ah, mosok!”
“Lihat aja sendiri!”
“ Oke lah klo begitu! Baiklah akan
kuhentikan si biru, Kang!”
Cittt…! bunyi rem si biru diinjak
kaki besar Ipung. Seketika kecepatan si biru semakin melambat pelan. Persis di
jembatan si biru dihentikan. Kemudian Ipung turun dari motor. Memandang jauh ke
belakang.
“Wah, betul Kang, teman-teman tidak ada di belakang!
Aku sama sekali tidak menangkap sorot lampu motor mereka. Kalau mereka ada
tentunya ada beberapa cahanya yang beriringan,” kata Ipung setelah ia
mengarahkan pandangannya ke belakang.
“Makanya aku nyuruh kamu berhenti
dulu!”
“Apa mereka memutar balik ya, Kang!
“Emboh..! Dak tahu aku!”
“Udah kamu hubungi Kang.
“Udah aku WA cuman centang satu.”
“Kemana ya, mereka?”
“Tadi sampai alun-alun kita beli
jagung rebus armada juga masih lengkap, kan? Setelah itu kita langsung ke
selatan sampai penthol Blaru.”
“Iya Kang, tadi kita kan
kejar-kejaran sama motornya Habib.”
“Coba ditelpon, Kang!”
“Udah berkali-kali, tapi tidak
bisa!”
“Terus bagaimana ini, Kang?”
“Kita tunggu saja mereka di sini.”
“Kalau mereka tidak jadi ke Mlawat?”
“Ya, terpaksa kita pergi ke sana
berdua.”
“Kalau begitu kita langsung ke
Mlawat saja, buat apa menunggu mereka, Kang?”
“Kita tunggu saja mereka di sini
dulu, Pung! Siapa tahu sebentar lagi mereka membuntuti kita.”
“Tunggu mereka di sini? Sampai kapan?
Lihatlah, tidak ada cahaya motor-motor mereka! Sampai kapan kita tunggu di
sini, Kang! Kalau mereka bersama kita tentunya mereka di belakang kita! Kalau
mereka tidak jadi ke Mlawat apa kita tetep nunggu ampe pagi!”
“Kita tunggu mereka beberapa saat, Pung!”
“Sampai kapan?!”
Aku diam. Ipung juga diam. Ipung menarik
tubuh kekarnya dan bersandar di balkon jembatan. Dia tampak menghempaskan
kekesalan. Dari rumah semangatnya menggebu-gebu ingin cepat sampai ke Mlawat. Karena
Ipung baru kali ini dapat berziarah ke makam Sang Prabu Angling Darma. Makanya
tadi Ipung sempat ngotot kepada teman-teman agar melekan satu Suro ini pergi ke
Dusun Mlawat, Sukolilo saja daripada
pergi ke Gunung Muria.
“ Kang, rokoknya masih?”
“Nah, begitu! Dinginkan pikiran
dulu dengan tembakau!
“Masih ndak rokoknya!”
“Masih…!” kataku.
Karena seingatku tadi masih ada
beberapa. Kugerayangi saku jaketku mencari rokok itu. Kukeluarkan benda
berbentuk kotak. Kubuka tutupnya ternyata masih ada enam puntung yang bersarang di dalamnya.
“Nih…!”
Aku sodorkan kepada Ipung dengan
terlebih dulu kusulut satu batang untuk
mengusir hawa dingin yang mulai menggeliat-geliat di tubuhku. Dengan perasaan
masih kesal Ipung meraih rokok dari tanganku. Dengan cepat dibukanya. Ia meraih
satu batang. Kemudian dimasukkan mulut dan dinyalakan. Dikepulkan asap itu ke
udara berbarengan kekesalan yang menggunung di dadanya.
“Kalau tidak salah, sejak keluar dari
Pati Pung, teman-teman sudah tidak
mengikuti kita!”
“Sekarang kita sudah jauh dari Pati. Tentu
mereka pada mutar balik! Atau mereka menilap kita! Ini pasti Rizal yang jadi
biang keroknya!”
Aku diam. Memang tadi Rizal ngotot
ke Muria. Berziarah ke makam Kanjeng Sunan Muria. Sementara aku dan teman-teman
yang lain makmum saja. Kemanapun pergi, ngikut.
Yang penting ada acara untuk mengisi malam satu Suro tahun ini. Memang
tadi aku, Faiz, dan Fii agak condong mendukung Ipung malam satu Suronan pergi
ke Makam Prabu Angling Darma, Sukolilo, raja sakti mandraguna yang ceritanya
sudah melegenda di bumi Nusantara ini.
Rizal dan Habib ngotot mengajak melekan malam satu Suronan
di Gunung Muria dengan alasan Muria tempatnya asri, sepi, dan sangat bagus
untuk meditasi. Tentunya wangsit-wangsit akan mudah turun Suro ini. Muria
merupakan tempat pencari wangsit dan meditasi. Yang diburu orang-orang setiap
hari. Lebih-lebih malam ini malam satu Suro tentunya tempat-tempat seperti air
terjun Monthel, Air Tiga Rasa dan puncak tertinggi Muria, Saptorenggu dipadati
pengunjung.
Aku mendukung Ipung memilih ke
makam Angling Darma dengan alasan karena malam satu Muharom tahun ini
bertepatan hari Pasaran Haul Sang Prabu. Pulangnnya mampir ke makam wali yang
fenomenal di Bumi Mina Tani ini, yakni Mbah Syeh Jangkung, Kayen. Jadi satu dayung
dua pulau terlampaui. Aku tidak mendukung Rizal pergi ke Muria karena setiap
tahun kita pergi ke Muria. Ditambah pada
tanggal 10 Suro nanti, kita sudah ada rencana pergi kesana. Karena
tanggal 10 Suro adalah haul Kanjeng Sunan Muria.
Untuk menjungjung sikap keadilan
dan demokrasi maka, diundi. Tadi aku yang menjadi bandarnya. Ternyata diundi
tiga kali yang keluar Prabu Angkling Darma berturut-turut. Akhirnya, kita
sepakat pergi ke Sukolilo.
“Coba mereka hubungi lagi Kang!”
“Udah…,tetep ndak bisa! Aku WA juga
tidak terkirim!”
“Kemana mereka?”
“Coba gantian Kamu yang menghubungi!”
Ipung mengutak-utik HP.
“HP mereka mati, Kang! Aku SMS dan
aku WA juga tidak terkirim. Terus gimana Kang?”
“Ya, kita tetap tunggu di sini.
Kalau emang beberapa saat mereka tidak sampai sini kita ke Mlawat.
“Y owes, manut Kang!”
Kudongakkan kepala ke atas.
Bintang-bintang yang berkelip di langit berangsur-angsur hilang. Rupanya malam ini akan turun hujan. Habib, Rizal, Fii,
Dul dan teman yang lain juga belum nongol. Kemana mereka?
“ Pung, yuk…kita berteduh di depan toko itu
saja!”
“Toko yang mana, Kang?”
“Itu..!”
“Ya, Kang!”
Aku
menunjuk sebuah toko yang bercat kuning muda. Kelihatannya serambi toko
itu nyaman untuk berteduh. Tanpa menawar Ipung mendorong si biru ke depan toko
yang aku maksud. Karena jaraknya hanya beberapa meteran, Ipung tidak
menghidupkan si biru. Ia hanya mendorong si biru.
Jam berapa sekarang, Kang?”
“Jam 11. 45menit!” Kataku setelah
kulihat arloji di tanganku.
“Apa tidak sebaiknya kita langsung
ke Mlawat saja Kang, kita tunggu di sana? Malam semakin larut. Lagian kalau
kita menunggu di sini, trus hujan turun, gimana? Malah kita tidak sampai
Malwat, Kang!”
“Sebaiknya kita tunggu mereka di sini sesaat
lagi. Karena kita berangkat dari rumah sama-sama. Nyampai tujuan pun kita harus
sama-sama. Itu namanya teman setia. Ya, kita tunggu lima belasan menit, lagi.
“Yo wis nak ngono Kang, aku manut!”
Lima belas menit telah berlalu.
“Kang, mereka tidak lewat juga. Apa
mereka putar balik ya, Kang!”
“Putar balik, gimana?”
“Ya, mereka kembali pulang atau
bisa juga mereka pergi ke Muria!”
“Tidak mungkin, ah!”
“Mungkin saja lo Kang! Kamu tahu
sendiri kan sifatnya Habib dan Rizal. Tentunya mereka berdua memengaruhi
teman-teman.”
“Jangan berpikiran yang
enggak-enggak. Mungkin motor gundalanya Dul mogok. Karena pada saat berangkat
tadi kan mogok a. Atau bisa juga ada
motornya salah satu teman kita yang bannya bocor. Malam-malam gini kan tidak
ada tambal ban!”
“Apa kita salah jalan, Kang?”
“Tidak, ini jalan menuju ke Mlawat!
Aku hapal betul jalan ini!”
“La, terus…kita gimana?”
“Ya, dah begini saja. Kita tunggu
mereka di Makam Sang Prabu. Yuk, kita tunggu di Mlawat saja!”
“Ya, begitu kan lebih baik. Kita di
sana bisa tidur-tiduran dulu. Lagian, di sini banyak nyamuk. Bisa-bisa darahku
habis dihisap nyamuk di sini. Yuk, kita berangkat!”
“Pung, dadaku kok deg-degan kayak
gini.”
“Dadaku juga berdetak keras, Kang!”
“Ada apa ya, Pung!”
“Mboh, Kang… ra reti! Apa
kita berada di kehidupan lain ya kang?”
“Maksud kamu?”
“Maksudku kita ini tidak di alam
nyata, tapi kita di alam sebelah,” bisik Ipung
“Maksudmu kita masuk ke dalam alam
gaib, gitu?”
“Iya, Kang!”
“Ah, ngawur kamu! Ini jalan menuju
ke Mlawat yang pernah aku lewati kok!”
“Bisa juga, lo Kang!”
“Ah, tidak usah dibahas!”
Apa betul yang dikatakan Ipung
kalau kami masuk kea lam gaib? Padahal jelas kami berenam naik sepeda motor
beriringan dari rumah. Tetapi mengapa teman-teman belum juga lewat. Bulu
kulitku semakin berdiri. Biasanya kalau bulu kulit berdiri itu pertanda ada
makhluk halus yang mendekat. Aku harus cepat-cepat mengajak Ipung ke Mlawat.
“Ayo, Pung kita lekas ke Mlawat aja
mereka tidak kunjung lewat, kok!”kataku. Karena aku semakin ngeri juga lama-lam
di sini.
“Nah gitu kan lebih dari baik,
Kang!”
“Ayo!”
Aku naik ke punggung si biru tetapi
Ipung masih menikmati asap terakhir rokoknya.
“Katanya mau cepat-cepat ke Mlawat,
kok masih nyedot!”
“Sebentar Kang, nanggung. Iki
kari wenak e!”
“Ah, kamu itu!”
“Yo wes, ayo cabut!” kata
Ipung ketika dia melemparkan puntung rokok ke jalan.
Belum sempat Ipung memutar kunci
motor, tiba-tiba kami dikejutkan teriakan yang keras.
“Tidak mau…! Aku mau pulang…!”
Aku jadi tersentak kaget. Seketika
darahku mendesir. Dadaku tambah deg-degan.
“Ada apa, Pung?” tanyaku
“Entahlah, Kang! Ada teriakan!”
Kedengarannya suara perempuan yang
berteriak tadi!”
“Darimana tadi arah suara itu?”
“Tidak paham aku, Kang! Kalau tidak
salah dari arah sana!” Ipung mengarahkan jari telunjuknya ke arah utara.
“Kang aku kok jadi takut! Tadi itu
teriakan orang, atau hantu ya, Kang!”
“Entahlah….!”
Aku turun dari punggung si
biru. Mencari sumber suara teriakan keras tadi.
“Ayo, Kang kita cabut dari sini saja, tadi
pasti hantu penunggu sini! Dia keberatan kalau kita lama-lama di sini, ayo!”
“Tadi, itu kayak suara wanita!”
“Pasti hantu, Kang! Masak ada
perempuan sampai keluyuran malam-malam begini. Ayo, Kang kita cabut saja dari
sini!” kata Ipung dengan menarik-narik bajuku.
“Kalau kita cabut dari sini, kita malah akan
lebih penasaran lagi. Karena kita tidak tau, yang berteriak tadi manusia apa
hantu!”
Aku tidak menghiraukan Ipung. Aku
semakin penasaran. Penasaranku di puncak paling tinggi. Walau aku agak takut, aku
kuatkan nyaliku untuk mengetahui kenyataan sesungguhnya.
“Ya dah Pung, kita pergi dari sini.
Mungkin kamu benar tadi bukan teriakan manusia.” kataku ketika beberapa saat
tidak muncul suara lagi.
“Dibilangin tidak percaya! Mana
mungkin ada seorang wanita di malam selarut ini? Ayo Kang cepat cabut menuju Mlawat, bulu
kudukku berdiri!”
“Ayo, Pung!”
......
Bersambung ke #2
Label: Cerbung
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda