Cerpen Ambyar: Saenah
SAENAH
Oleh: Pak Guru Top
Malam semakin dingin. Angin laut yang
membawa bau garam menjelajah setiap sudut ruangan. Menjejal ke hidung dan
mendekap tubuh setiap insan. Hembusan angin mampu memeganandakan seluruh anak Adam. Mereka semakin lekat punggungnya
dengan tempat tidur dan terlelep masuk jauh dalam alam mimpi-mimpi mereka. Langit
begitu terang. Dewi Malam tersenyum lebar. Malam ini dia akan membagi sinarnya
sampai fajar. Malam ini merupakan malam pertengahan
bulan menurut hitungan bulan Muharom. Inilah, banyak orang menyebutnya malam
purnama. Sinarnya memberi keceriaan
kepada orang-orang yang menghidupkan sepanjang malamnya untuk menumpahkan semua persoalan hidup kepada Sang
Kholik.
Biasanya, pukul 02.30 aktivitas pondok
putri sudah mulai bangkit. Mereka bangun
mendirikan sholat malam atau sekedar antri untuk mandi. Banyak diantara mereka ada
yang sudah membiasakan diri setiap bangun tidur terus mandi. Setelah itu baru
melaksanakan sholat tahajud.Tetapi, malam ini tidak ada satu pun santri putri
yang bangun. Mereka terlelap. Mereka menikmati tidurnya karena kelelahan
mengikuti karnaval dari pukul 1 siang sampai pukul 5 sore tadi. Dalam karnaval
tadi, kurang lebih 10 KM jarak yang mereka tempuh. Cukup lumayan, bisa
menjadikan kaki mereka sembab-sembab dan pegal merayap dari kaki ke ubun-ubun.
Saat para santri putri menikmati mimpinya, Saenah, seorang santri putri yang sebentar lagi lulus MA, belum dapat
memejamkan matanya. Dia sejak tadi selalu gelisah dan sangat bersedih. Ada
kepedihan yang mendalam yang ditanggungnya. Dia berkali-kali mencoba memejamkan
matanya tetapi bayang-bayang hidup yang telah terbentangkan beberapa bulan
selalu hadir sehingga mampu mengalahkan rasa kantuknya. Entah berapa puluh
rekaat sholat yang telah ia selesaikan untuk menenangkan hatinya. Tetapi, tetap
tak bisa. Dia tak mampu menenangkan hatinya. Jiwanya tetap menangis.
“Ya, Allah…! Mengapa di usiaku yang dini
engkau memberikan cobaan bertubi-tubi?”
suaranya lirih bersamaan jatuhnya aliran air matanya yang bening.
Beberapa kali dia berusaha mengusir kehidupan masa lampau dengan
keteguhan hati dan segenap harapan. Berharap ada ketentraman dalam jiwa. Dia
tidak ingin menyalahkan takdir. Sebagai manusia biasa tiada salahnya dia
menangis dihadapan Yang Punya Hidup dan Penggaris Nasib. Bentangan kehidupan
yang telah dijalani perlembar telah dikuburnya dalam-dalam beberapa waktu lalu.
Dia ingin menjalani kehidupan masa sekarang sebagai Saenah yang sekarang. Dia
berharap Saenah yang dulu beda dengan Saenah sekarang.
Namun, tak bisa. Malam ini, Zakky hadir kembali. Cintanya dengan Zakky tak
pernah mati. Terbukti saat sebelum pemberangkatan karnaval tadi siang , hatinya berbunga-bunga dan bahagia ketika
tanpa sengaja bertemu muka. Mereka saling melempar pandang dan saling tersenyum
dengan penuh pengharapan. Cinta mereka masih tumbuh subur. Benih yang tersemai
menjadi pohon yang menjulang dengan akar yang kokoh dan kuat. Saat mata bertemu
ada rasa kenyamanan dan kedamaian dalam jiwanya yang tak mampu diberikan oleh orang lain,
meskipun orang itu Hidayat. Gairah hidup Saenah tumbuh kembali. Dia bagaikan
lahir kembali. Saenah tersenyum-senyum bahagia membayangkan kejadian tadi
siang.
Namun, tak beberapa lama air matanya
menetes lagi. Dia membayangkan kesedihan yang ditanggung Zakky jika melihat
kenyataan.
“Mbak
Saenah belum, tidur!” suara Fella memecah kesunyian malam.
Terang saja suara itu mengejutkan Saenah yang telah larut dalam kenangan dan
kesedihan. Saenah hanya menggelengkan
kepala. Gadis cantik itu memilih memendam perasaan.
“Mbak nangis,
ya?!” selidik Fella ketika melihat Saenah sedang mengusap pipinya.
“Tidak kok, Mbak! Aku tidak nangis!”
tangkis Saenah dengan menyembunyikan kepedihan hatinya yang selama ini ia
simpan.
Fella menatap dalam ke wajah temannya.
Dia tau kalau temannya itu sedang menyembunyikan kepedihan. Dia tau kalau yang
diusap Saenah adalah air mata penderitaan. Tetapi penderitaan apa yang sedang
dialami temannya itu? Mengapa Saenah tidak pernah bercerita kepada Fella?
Padahal selama dua tahun setengah mereka hidup bersama dalam kamar yang sama?
“Mbak…,ceritalah kepada aku kalau Mbak
Saenah ada masalah. Siapa tau aku bisa bantu!”
“ Masalah…?! Masalah apa, Mbak? Aku baik-baik saja, aku tidak
punya masalah kok, Mbak?!”
“Mbak Saenah, aku tau Mbak punya masalah! Mbak cerita saja sama Fella. Siapa
tahu Fella. Kalaupun Fella tidak bisa bantu mengeluarkan persoalan Mbak, paling
tidak bisa memperingan beban Mbak. Beban hidup Mbak Saenah akan terkurangi.
Bicaralah Mbak!”
Saenah diam. Akankah persoalan yang selama ini
ia kunci rapat-rapat harus dia buka? Apakah kalau persoalanya diutarakan kepada
temannya Fella akan bisa memecahkan masalahnya? Tentu tidak. Yang bisa
menyelesaikan masalahnya adalah dia sendiri. Dia sendiri yang tau kalau dia
hamil, mengandung anak yang tidak ia harapkan. Dia sendiri yang harus mengubur
cinta, cita-citanya dan harapan hidup bersama Zaky, kekasihnya.
“Mbak, kita ini sudah jadi saudara!
Penderitaan Mbak Saenah, penderitaanku juga! Kita sudah menjadi keluarga.
Ibarat anggota tubuh, jika kaki ini terluka mata ini yang mengeluarkan air
mata. Jika Mbak Saenah sedih, biar aku yang ikut menanggung beban, Mbak! Kita
bagi beban itu!”
“Mbak Fella tenang aja, aku baik-baik
saja! Aku tidak punya masalah kok, Mbak!”
“Baiklah kalau Mbak Saenah tidak mau
bercerita!”
“Bercerita apa? La wong tidak punya
masalah, kok!”
“Ya dah Mbak, aku ke kamar mandi dulu.
Kalau besok-besok Mbak mau menumpahkan permasalahan kepada Fella, Fella siap
menampungnya.”
“Ya, Mbak!”
Saenah memilih bungkam. Sementara ketua
pondok putri itu dibiarkan menyimpan seribu
tanya dalam otaknya. Sayup-sayup terdengar murotal dari kejauhan Fella
pamit melanjutkan tidurnya setelah selesai melakukan sholat 3 raka’at. Pondok putri
kembali hening. Mata Saenah masih menyapu para santri putri yang tertidur pulas
seakan-akan mereka menikmati malam tanpa menanggung beban. Saenah merasa iri
kepeda gadis-gadis muda yang masih polos itu. Gadis muda yang akan mampu meraih
mimpi-mimpinya. Berbeda dengan dirinya yang sebentar lagi menjadi seorang ibu.
Hilang sudah harapannya untuk menjadi
mahasiswi Al Azhar Cairo, Mesir. Hilang lah sudah harapan menjadi seorang istri
dari suami yang mampu meneduhkan hatinya.
Saenah harus mengubur angan-angan yang
dibangun bersama Zakky, kekasihnya. Walau hanya lewat surat-surat, hati Saenah
telah terpatri. Di lubuk hatinya hanya ada Zakky. Tapi, kini dalam rahimnya
tumbuh Hidayat kecil. Yang membuat ia tak berdaya membalas surat-surat Zakky. Selama
ini, ia hanya mampu menghindar dari orang yang sangat dicintai.
Saenah berkali-kali memejamkan mata. Dia
ingin tidur walau sebentar. Dia mulai merebahkan tubuhnya dekat dengan Fella.
Tetapi tidak bisa. Pikirannya semakin
kuat menghadirkan rekaman peristiwa 4 bulan yang lalu ketika dia pulang dari
pondok. Waktu itu dia terkejut karena di dalam kamarnya terdapat pakaian
laki-laki.
“Mak, pakaian siapa ini?”
“Itu kan pakaiannya suami kamu!”
“Suami? Kapan aku punya suami, Mak!?”
“Kemarin!”
“Kemarin? Kenapa Saenah tidak diberi
tau?”
“Ini kan kamu sudah tau.”
“Mengapa akad nikahnya tidak menghadirkan
aku? Aku kan berhak tau siapa calon suami aku. Aku juga berhak nolak kalau aku
tidak setuju!”
“Dari dulu kamu kan sudah tau calon suami
kamu?”
“Siapa, Mak?”
“Mas mu, Hidayat.”
“Ha…..! Mas Hidayat?!!”
“Iya, Hidayat! Kenapa, kamu terkejut?
Kamu dengan dia, kan sudah tunangan?
“Iya, tapi Saenahkan tidak cinta!?”
“Nanti kamu juga akan cinta. Dulu Mak
juga sama seperti kamu. Mak menikah juga
tidak didasari dengan cinta. Dulu, Mak menikah pilihan mbahmu. Cinta itu tumbuh
setelah kamu lahir. Nyatanya Mak dan bapakmu bahagia?”
“Kenapa
tidak menunggu aku lulus kuliah, Mak!”
“Lulus kuliah? Sampai kapan Nduk!”
“Sampai aku meraih gelar S1, Mak!”
“Tidak usah es es san barang! Bapak dan
Mak memberikan yang terbaik untuk kamu. Menurut hitungan Jawa itu hari yang
terbaik untuk kamu. Kalau menunggu kamu lulus, tidak bisa karena Tahun Duda.
Lagian rencana pernikahan itu sudah sejak dulu. Kalau menunggu persetujuanmu
pasti kamu tidak mau. Dari dulu kamu minta mundur-mundur terus. Kalau
hubunganmu dengan Hidayat batal, ibu kasihan dengan masmu Hidayat. Dia sudah
lama menunggu kamu. Ibu dan Bapak juga malu sama De Kasipan dan De Miyati, orang
tua Hidayat!”
“Tapi, Mak…!”
“Tidak usah tapi-tapian!”
“Saenah ingin kuliah, Mak! Saenah ingin punya masa depan yang
gemilang. Saenah ingin meraih cita-cita yang tinggi. Setinggi Gunung Muria itu!”
Saenah menunjuk gunung yang jauh berada di hadapannya berpuluh kilo meter.
Gunung Muria itu terlihat jelas dan gagah lewat jendela dapur rumahnya. Musim
begini Gunung Muria tampak jelas di pagi hari lebih-lebih dilihat dari desa
Saenah, dari daerah Juwana.
“Nduk….kita ini orang susah. Kita dapat
makan saja sudah syukur Alhamdulillah. Tidak usah neko-neko ah, kepengen kuliah segala! Mestinya kamu
harus bersyukur. Di usia seperti kamu sudah ada yang mau. Masa depanmu ya,
bersama Hidayat. Kalau kamu ingin kuliah mas mu Hidayat mau kok membiayai kamu.
Kalau kamu punya anak biar ibu yang momong.
Tetapi, kamu kuliahnya di daerah Pati sini. Biar tiap hari bisa pulang. Bisa
ngurus suami dan anak. Kalau di tempat lain misalnya Semarang atau Jogja ibu tidak
ngizinkan.”
“Mak, Saenah tidak mau bergantung pada
orang lain. Aku ingin kuliah lewat caraku sendiri. Aku ingin kuliah lewat
program bea siswa, mak! Jadi, Mak dan Bapak tidak usah mikirin beaya kuliah
Saenah. Lewat prestasiku juara I MQK di Jambi aku ingin ke Mesir Mak, kuliah di
AL-Azhar,” kata Saenah dengan bangga dan penuh pengharapan yang tinggi.
Berharap ada restu dari Maknya.
“Tidak, Duk! Apa sih yang dicari
anak perempuan sekolah tinggi-tinggi?
Pada akhirnya juga di dapur, ngurus anak, ngurus suami! Sekarang kamu sudah
bersuami!” suara Maknya meninggi. Kemudian melemah lagi “ Duk….! Coba kamu
lihat Mbak Nia, anak Mbok De mu itu. Dia dulu pinter. Dia sekolah dapat
rangking terus. Katanya, dulu kuliah di kesehatan, tapi momong anak
juga. Padahal untuk biaya kuliah Mbakmu Nia, Pakde Siswo jual sawah
segala.”
“Mak…!Mbak Nia itu tidak boleh kerja Mas
Bambang, suaminya! Karena waktu itu kandungan Mbak Nia lemah. Akhirnya, Mas
Bambang menyuruh Mbak Nia berhenti bekerja. Biar cepat punya anak!”
“Tapi, dia ngurus anak juga, to! Kalau
gitu, buat apa sekolah duwur-duwur kalau harus bekerja di rumah ngurus
anak. Kan, buang-buang uang dan
tenaga saja. Anak perempuan itu baiknya di rumah, jadi ibu rumah tangga. Apa
sih yang kurang dengan Mas mu Hidayat? Dia ganteng. Orang tuanya kaya. De
Kasipan, orang tuanya Hidayat punya kapal. Mau cari apa lagi kamu. Sekarang
Masmu Hidayat jadi orang terhormat, jadi Modin.
Kamu jadi istrinya Modin Duk…! Kamu
juga akan jadi orang terhormat. Hidayat juga keturunan orang baik. Bibit, bebet, bobotnya dapat. Terus, apa
lagi yang kamu cari? Apa lagi..?!”
Saenah terdiam karena percuma beradu
argumen dengan Maknya. Pasti dia kalah. Maknya orangnya ngeyel. Banyak bicara.
Berbeda dengan bapaknya orangnya sabar dan pendiam. Saenah tidak habis pikir,
kenapa orang tuanya tega menyengsarakan dia. Mengapa mereka main nikahkan saja
tanpa meminta persetujuan dia? Padahal secuil hatinya sama sekali tidak ada cinta dengan Hidayat.
Hidayat hanya dia anggap sebagai kakak
saja tidak lebih. Umur mereka terpaut 10
tahunan. Sejak kecil Saenah sudah akrap
dengan Hidayat. Sebelum Hidayat dan keluarga pindah rumah, rumah mereka
bersebelahan. Saenah dan Hidayat saudara tunggal
buyut. Untuk menjaga hubungan
keluarga maka Saenah dijodohkan dengan Hidayat.
Saenah tidak mampu berbuat apa-apa. Dia
juga tidak mampu merubah takdir yang menjadi garis hidupnya. Dia hanya bisa
menangis dan menyesali kelahirannya di dunia yang penuh pesona dan gelora ini.
Dia pasrah kepada suratan takdir yang ditimpakan pada dirinya. Dia harus tegar
karena sebentar lagi dia harus mengghadapi beberapa ujian yang diselenggarakan
madrasah sebagai syarat kelulusan. Lebih-lebih dalam rahimnya ada bayi yang
tidak berdosa. Dia juga wajib menjaganya.
Saenah mencoba untuk meneguhkan hati
walau butiran-butiran air mata jatuh tak kuasa ia bendung. Dia harus tetap
menjalani takdir yang sudah tergaris untuknya. Manusia hanya menjalani hidup yang
sudah ditentukan oleh Sang Kuasa, bahwa manusia hanya pelaku di atas panggung
yang sudah diatur oleh sutradara. Sutradaranya tak lain adalah yang punya jagad
raya, dia adalah Allah Subhanahuwataala yang telah mengatur hidupnya.
Namun, dalam hatinya selalu berharap ada
keajaiban yang mampu merubah takdirnya untuk hidup bersama Zaky orang yang
dikasihi. Keajaiban untuk membina rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya
bersama orang yang telah menyatu dalam darah dagingnya selama ini. Dia akan
terus berdoa agar suatu saat nanti cintanya bisa terwujud dalam alam nyata.
Cintanya dapat menyatu dalam ikatan keluarga.
Sayup-sayup murotal masuk telinga Saenah,
dia memahami makna ayat-ayat yang didengarnya. Kesedihannya mulai
berangsung-angsur sirna. Hatinya mulai teduh dan damai. Dia perlahan-lahan
memejamkan mata. Sukmanya melayang-layang jauh turun di sebuah rumah yang kecil
penuh taman bunga. Dia mendengar tangis bayi laki-laki. Buru-buru dihampiri.
Dia kalah cepat dengan seorang lelaki tampan dan gagah. Bayi laki-laki itu
sudah dalam gendongan seorang lelaki yang telah menyatu dalam hidupnya. Dia
adalah Zaky. Mereka ternyata menyatu dalam ikatan keluarga. Bayi laki-laki itu buah
cintanya dengan pemuda yang pertama kali menaklukkan keras hatinya.