Sabtu, 20 Februari 2021

Cerpen Ambyar: Saenah

 







                                                        

SAENAH

Oleh: Pak Guru Top

 

Malam semakin dingin. Angin laut yang membawa bau garam menjelajah setiap sudut ruangan. Menjejal ke hidung dan mendekap tubuh setiap insan. Hembusan angin mampu memeganandakan seluruh anak Adam. Mereka semakin lekat punggungnya dengan tempat tidur dan terlelep masuk  jauh dalam alam mimpi-mimpi mereka. Langit begitu terang. Dewi Malam tersenyum lebar. Malam ini dia akan membagi sinarnya sampai fajar. Malam  ini merupakan malam pertengahan bulan menurut hitungan bulan Muharom. Inilah, banyak orang menyebutnya malam purnama.  Sinarnya memberi keceriaan kepada orang-orang yang menghidupkan sepanjang malamnya untuk  menumpahkan semua persoalan hidup kepada Sang Kholik.

Biasanya, pukul 02.30 aktivitas pondok putri sudah mulai bangkit. Mereka  bangun mendirikan sholat malam atau sekedar antri untuk mandi. Banyak diantara mereka ada yang sudah membiasakan diri setiap bangun tidur terus mandi. Setelah itu baru melaksanakan sholat tahajud.Tetapi, malam ini tidak ada satu pun santri putri yang bangun. Mereka terlelap. Mereka menikmati tidurnya karena kelelahan mengikuti karnaval dari pukul 1 siang sampai pukul 5 sore tadi. Dalam karnaval tadi, kurang lebih 10 KM jarak yang mereka tempuh. Cukup lumayan, bisa menjadikan kaki mereka sembab-sembab dan pegal merayap dari kaki ke ubun-ubun.

Saat  para santri putri  menikmati mimpinya, Saenah,  seorang santri putri  yang sebentar lagi lulus MA, belum dapat memejamkan matanya. Dia sejak tadi selalu gelisah dan sangat bersedih. Ada kepedihan yang mendalam yang ditanggungnya. Dia berkali-kali mencoba memejamkan matanya tetapi bayang-bayang hidup yang telah terbentangkan beberapa bulan selalu hadir sehingga mampu mengalahkan rasa kantuknya. Entah berapa puluh rekaat sholat yang telah ia selesaikan untuk menenangkan hatinya. Tetapi, tetap tak bisa. Dia tak mampu menenangkan hatinya. Jiwanya tetap menangis.

“Ya, Allah…! Mengapa di usiaku yang dini engkau memberikan  cobaan bertubi-tubi?” suaranya lirih bersamaan jatuhnya aliran air matanya yang bening.

  Beberapa kali dia berusaha mengusir kehidupan masa lampau dengan keteguhan hati dan segenap harapan. Berharap ada ketentraman dalam jiwa. Dia tidak ingin menyalahkan takdir. Sebagai manusia biasa tiada salahnya dia menangis dihadapan Yang Punya Hidup dan Penggaris Nasib. Bentangan kehidupan yang telah dijalani perlembar telah dikuburnya dalam-dalam beberapa waktu lalu. Dia ingin menjalani kehidupan masa sekarang sebagai Saenah yang sekarang. Dia berharap Saenah yang dulu beda dengan Saenah sekarang.

Namun, tak bisa. Malam ini,  Zakky hadir kembali. Cintanya dengan Zakky tak pernah mati. Terbukti saat sebelum pemberangkatan karnaval tadi siang ,  hatinya berbunga-bunga dan bahagia ketika tanpa sengaja bertemu muka. Mereka saling melempar pandang dan saling tersenyum dengan penuh pengharapan. Cinta mereka masih tumbuh subur. Benih yang tersemai menjadi pohon yang menjulang dengan akar yang kokoh dan kuat. Saat mata bertemu ada rasa kenyamanan dan kedamaian dalam jiwanya  yang tak mampu diberikan oleh orang lain, meskipun orang itu Hidayat. Gairah hidup Saenah tumbuh kembali. Dia bagaikan lahir kembali. Saenah tersenyum-senyum bahagia membayangkan kejadian tadi siang.

Namun, tak beberapa lama air matanya menetes lagi. Dia membayangkan kesedihan yang ditanggung Zakky jika melihat kenyataan.

 “Mbak Saenah belum, tidur!” suara Fella memecah kesunyian malam.

Terang saja suara itu mengejutkan  Saenah yang telah larut dalam kenangan dan kesedihan. Saenah hanya  menggelengkan kepala. Gadis cantik itu memilih memendam perasaan.

 “Mbak nangis, ya?!” selidik Fella ketika melihat Saenah sedang mengusap pipinya.

“Tidak kok, Mbak! Aku tidak nangis!” tangkis Saenah dengan menyembunyikan kepedihan hatinya yang selama ini ia simpan.

Fella menatap dalam ke wajah temannya. Dia tau kalau temannya itu sedang menyembunyikan kepedihan. Dia tau kalau yang diusap Saenah adalah air mata penderitaan. Tetapi penderitaan apa yang sedang dialami temannya itu? Mengapa Saenah tidak pernah bercerita kepada Fella? Padahal selama dua tahun setengah mereka hidup bersama dalam kamar yang sama?

“Mbak…,ceritalah kepada aku kalau Mbak Saenah ada masalah. Siapa tau aku bisa bantu!”

“ Masalah…?! Masalah  apa, Mbak? Aku baik-baik saja, aku tidak punya masalah kok, Mbak?!”

“Mbak Saenah, aku tau Mbak  punya masalah! Mbak cerita saja sama Fella. Siapa tahu Fella. Kalaupun Fella tidak bisa bantu mengeluarkan persoalan Mbak, paling tidak bisa memperingan beban Mbak. Beban hidup Mbak Saenah akan terkurangi. Bicaralah Mbak!”

 Saenah diam. Akankah persoalan yang selama ini ia kunci rapat-rapat harus dia buka? Apakah kalau persoalanya diutarakan kepada temannya Fella akan bisa memecahkan masalahnya? Tentu tidak. Yang bisa menyelesaikan masalahnya adalah dia sendiri. Dia sendiri yang tau kalau dia hamil, mengandung anak yang tidak ia harapkan. Dia sendiri yang harus mengubur cinta, cita-citanya dan harapan hidup bersama Zaky, kekasihnya.

“Mbak, kita ini sudah jadi saudara! Penderitaan Mbak Saenah, penderitaanku juga! Kita sudah menjadi keluarga. Ibarat anggota tubuh, jika kaki ini terluka mata ini yang mengeluarkan air mata. Jika Mbak Saenah sedih, biar aku yang ikut menanggung beban, Mbak! Kita bagi beban itu!”

“Mbak Fella tenang aja, aku baik-baik saja! Aku tidak punya masalah kok, Mbak!”

“Baiklah kalau Mbak Saenah tidak mau bercerita!”

“Bercerita apa? La wong tidak punya masalah, kok!”

“Ya dah Mbak, aku ke kamar mandi dulu. Kalau besok-besok Mbak mau menumpahkan permasalahan kepada Fella, Fella siap menampungnya.”

“Ya, Mbak!”

Saenah memilih bungkam. Sementara ketua pondok putri itu dibiarkan menyimpan seribu  tanya dalam otaknya. Sayup-sayup terdengar murotal dari kejauhan Fella pamit melanjutkan tidurnya setelah selesai melakukan sholat 3 raka’at. Pondok putri kembali hening. Mata Saenah masih menyapu para santri putri yang tertidur pulas seakan-akan mereka menikmati malam tanpa menanggung beban. Saenah merasa iri kepeda gadis-gadis muda yang masih polos itu. Gadis muda yang akan mampu meraih mimpi-mimpinya. Berbeda dengan dirinya yang sebentar lagi menjadi seorang ibu. Hilang sudah  harapannya untuk menjadi mahasiswi Al Azhar Cairo, Mesir. Hilang lah sudah harapan menjadi seorang istri dari suami yang mampu meneduhkan hatinya.

Saenah harus mengubur angan-angan yang dibangun bersama Zakky, kekasihnya. Walau hanya lewat surat-surat, hati Saenah telah terpatri. Di lubuk hatinya hanya ada Zakky. Tapi, kini dalam rahimnya tumbuh Hidayat kecil. Yang membuat ia tak berdaya membalas surat-surat Zakky. Selama ini, ia hanya mampu menghindar dari orang yang sangat dicintai.  

Saenah berkali-kali memejamkan mata. Dia ingin tidur walau sebentar. Dia mulai merebahkan tubuhnya dekat dengan Fella. Tetapi tidak bisa. Pikirannya  semakin kuat menghadirkan rekaman peristiwa 4 bulan yang lalu ketika dia pulang dari pondok. Waktu itu dia terkejut karena di dalam kamarnya terdapat pakaian laki-laki.

“Mak, pakaian siapa ini?”

“Itu kan pakaiannya suami kamu!”

“Suami? Kapan aku punya suami, Mak!?”

“Kemarin!”

“Kemarin? Kenapa Saenah tidak diberi tau?”

“Ini kan kamu sudah tau.”

“Mengapa akad nikahnya tidak menghadirkan aku? Aku kan berhak tau siapa calon suami aku. Aku juga berhak nolak kalau aku tidak setuju!”

“Dari dulu kamu kan sudah tau calon suami kamu?”

“Siapa, Mak?”

“Mas mu, Hidayat.”

“Ha…..! Mas Hidayat?!!”

“Iya, Hidayat! Kenapa, kamu terkejut? Kamu  dengan dia, kan sudah tunangan?

“Iya, tapi Saenahkan tidak cinta!?”   

“Nanti kamu juga akan cinta. Dulu Mak juga sama seperti kamu. Mak menikah  juga tidak didasari dengan cinta. Dulu, Mak menikah pilihan mbahmu. Cinta itu tumbuh setelah kamu lahir. Nyatanya Mak dan bapakmu bahagia?”

 “Kenapa tidak menunggu aku lulus kuliah, Mak!”

“Lulus kuliah? Sampai kapan Nduk!”

“Sampai aku meraih gelar S1, Mak!”

“Tidak usah es es san barang! Bapak dan Mak memberikan yang terbaik untuk kamu. Menurut hitungan Jawa itu hari yang terbaik untuk kamu. Kalau menunggu kamu lulus, tidak bisa karena Tahun Duda. Lagian rencana pernikahan itu sudah sejak dulu. Kalau menunggu persetujuanmu pasti kamu tidak mau. Dari dulu kamu minta mundur-mundur terus. Kalau hubunganmu dengan Hidayat batal, ibu kasihan dengan masmu Hidayat. Dia sudah lama menunggu kamu. Ibu dan Bapak juga malu sama De Kasipan dan De Miyati, orang tua Hidayat!”

“Tapi, Mak…!”

“Tidak usah tapi-tapian!”

“Saenah ingin kuliah,  Mak! Saenah ingin punya masa depan yang gemilang. Saenah ingin meraih cita-cita yang tinggi. Setinggi Gunung Muria itu!” Saenah menunjuk gunung yang jauh berada di hadapannya berpuluh kilo meter. Gunung Muria itu terlihat jelas dan gagah lewat jendela dapur rumahnya. Musim begini Gunung Muria tampak jelas di pagi hari lebih-lebih dilihat dari desa Saenah, dari daerah Juwana.   

“Nduk….kita ini orang susah. Kita dapat makan saja sudah syukur Alhamdulillah. Tidak usah neko-neko ah, kepengen kuliah segala! Mestinya kamu harus bersyukur. Di usia seperti kamu sudah ada yang mau. Masa depanmu ya, bersama Hidayat. Kalau kamu ingin kuliah mas mu Hidayat mau kok membiayai kamu. Kalau kamu punya anak biar ibu yang momong. Tetapi, kamu kuliahnya di daerah Pati sini. Biar tiap hari bisa pulang. Bisa ngurus suami dan anak. Kalau di tempat lain misalnya Semarang atau Jogja ibu tidak ngizinkan.”

“Mak, Saenah tidak mau bergantung pada orang lain. Aku ingin kuliah lewat caraku sendiri. Aku ingin kuliah lewat program bea siswa, mak! Jadi, Mak dan Bapak tidak usah mikirin beaya kuliah Saenah. Lewat prestasiku juara I MQK di Jambi aku ingin ke Mesir Mak, kuliah di AL-Azhar,” kata Saenah dengan bangga dan penuh pengharapan yang tinggi. Berharap ada restu dari Maknya.

“Tidak, Duk! Apa sih yang dicari anak  perempuan sekolah tinggi-tinggi? Pada akhirnya juga di dapur, ngurus anak, ngurus suami! Sekarang kamu sudah bersuami!” suara Maknya meninggi. Kemudian melemah lagi “ Duk….! Coba kamu lihat Mbak Nia, anak Mbok De mu itu. Dia dulu pinter. Dia sekolah dapat rangking terus. Katanya, dulu kuliah di kesehatan, tapi momong anak juga. Padahal untuk biaya kuliah Mbakmu Nia, Pakde Siswo jual sawah segala.” 

“Mak…!Mbak Nia itu tidak boleh kerja Mas Bambang, suaminya! Karena waktu itu kandungan Mbak Nia lemah. Akhirnya, Mas Bambang menyuruh Mbak Nia berhenti bekerja. Biar cepat punya anak!”

“Tapi, dia ngurus anak juga, to! Kalau gitu, buat apa sekolah duwur-duwur kalau harus bekerja di rumah ngurus anak. Kan, buang-buang uang dan tenaga saja. Anak perempuan itu baiknya di rumah, jadi ibu rumah tangga. Apa sih yang kurang dengan Mas mu Hidayat? Dia ganteng. Orang tuanya kaya. De Kasipan, orang tuanya Hidayat punya kapal. Mau cari apa lagi kamu. Sekarang Masmu Hidayat jadi orang terhormat, jadi Modin. Kamu jadi istrinya Modin Duk…! Kamu juga akan jadi orang terhormat. Hidayat juga keturunan orang baik. Bibit, bebet, bobotnya dapat. Terus, apa lagi yang kamu cari? Apa lagi..?!”   

Saenah terdiam karena percuma beradu argumen dengan Maknya. Pasti dia kalah. Maknya orangnya ngeyel. Banyak bicara. Berbeda dengan bapaknya orangnya sabar dan pendiam. Saenah tidak habis pikir, kenapa orang tuanya tega menyengsarakan dia. Mengapa mereka main nikahkan saja tanpa meminta persetujuan dia? Padahal secuil hatinya sama sekali  tidak ada cinta dengan Hidayat. 

Hidayat hanya dia anggap sebagai kakak saja tidak lebih. Umur  mereka terpaut 10 tahunan. Sejak  kecil Saenah sudah akrap dengan Hidayat. Sebelum Hidayat dan keluarga pindah rumah, rumah mereka bersebelahan. Saenah dan Hidayat saudara tunggal buyut. Untuk menjaga hubungan keluarga maka Saenah dijodohkan dengan Hidayat.

Saenah tidak mampu berbuat apa-apa. Dia juga tidak mampu merubah takdir yang menjadi garis hidupnya. Dia hanya bisa menangis dan menyesali kelahirannya di dunia yang penuh pesona dan gelora ini. Dia pasrah kepada suratan takdir yang ditimpakan pada dirinya. Dia harus tegar karena sebentar lagi dia harus mengghadapi beberapa ujian yang diselenggarakan madrasah sebagai syarat kelulusan. Lebih-lebih dalam rahimnya ada bayi yang tidak berdosa. Dia juga wajib menjaganya.

Saenah mencoba untuk meneguhkan hati walau butiran-butiran air mata jatuh tak kuasa ia bendung. Dia harus tetap menjalani takdir yang sudah tergaris untuknya. Manusia hanya menjalani hidup yang sudah ditentukan oleh Sang Kuasa, bahwa manusia hanya pelaku di atas panggung yang sudah diatur oleh sutradara. Sutradaranya tak lain adalah yang punya jagad raya, dia adalah Allah Subhanahuwataala yang telah mengatur hidupnya.

Namun, dalam hatinya selalu berharap ada keajaiban yang mampu merubah takdirnya untuk hidup bersama Zaky orang yang dikasihi. Keajaiban untuk membina rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya bersama orang yang telah menyatu dalam darah dagingnya selama ini. Dia akan terus berdoa agar suatu saat nanti cintanya bisa terwujud dalam alam nyata. Cintanya dapat menyatu dalam ikatan keluarga.

Sayup-sayup murotal masuk telinga Saenah, dia memahami makna ayat-ayat yang didengarnya. Kesedihannya mulai berangsung-angsur sirna. Hatinya mulai teduh dan damai. Dia perlahan-lahan memejamkan mata. Sukmanya melayang-layang jauh turun di sebuah rumah yang kecil penuh taman bunga. Dia mendengar tangis bayi laki-laki. Buru-buru dihampiri. Dia kalah cepat dengan seorang lelaki tampan dan gagah. Bayi laki-laki itu sudah dalam gendongan seorang lelaki yang telah menyatu dalam hidupnya. Dia adalah Zaky. Mereka ternyata menyatu dalam ikatan keluarga. Bayi laki-laki itu buah cintanya dengan pemuda yang pertama kali menaklukkan keras hatinya.

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda