Cerpen : MEMBUNUH RASA
MEMBUNUH
RASA
Oleh : Pak Guru Top
Sudah satu tahun lebih aku berada di
Pondok Madu Kawan, Pulau Madura ini. Aku berada di sebuah pondok pesantren yang
terletak di daerah pegunungan, di Desa Pelesangger Kabupaten Pamekasan. Selama
di sini,aku belum pernah pulang ke
rumah. Aku berusaha mengusir kekangenanku kepada Emak, Bapak, Kang Khoirun dan
lebih-lebih kepada Nawang dengan mengikuti kegiatan di pondok pesantren ini.
Untung, di sini
banyak aktivitas yang aku jalani sehingga aku mampu melewati hari-hariku
walau bayang-bayang mereka selalu hadir di setiap hariku. Walau bayang-bayang
mereka hadir setiap langkahku. Lebih-lebih bayang-bayang Nawang yang selalu
hadir setiap desah napasku, karena Nawang telah menyatu dalam hidupku. Nawang
telah masuk dalam jasad dan sukmaku.
Aku
pergi meninggalkan rumah sejak Kang Khoirun menikah dengan Nawang. Waktu itu
aku pergi dari rumah setelah menyaksikan akad nikah.Aku pergi tidak pamit
dengan keluarga. Aku hanya berpesan kepada Bambang kalau Bapak atau Mak tanya, aku suruh bilang kalau aku dapat panggilan pekerjaan. Waktu itu aku pergi hanya untuk menenangkan diri.
Ya, mungkin untuk beberapa hari.Tetapi, aku malah nyampe di Pulau Garam ini.
Waktu itu aku hanya bawa beberapa
potong pakain saja. Aku tidak bawa ijazah atau surat-surat penting lainnya
karena aku tidak berniat cari kerja. Untuk memnuhi perutku aku ikut Pak Yai.Di
sini setiap hari aku disuruh mengumpulkan batu dari hutan yang terletak di
gunung yang jaraknya 5 KM dari pondok ini. Mungkin jaraknya sama dengan jarak
antara Desa Guyangan Trangkil sampe Juwana. Aku berangkat dan pulang berjalan
kaki bersama temanku, samsudin anak dalem juga.
Walau aku seorang sarjana lulusan UIN
Sunan Kalijaga Jogja, Jurusan Tarbiah tetapi identitasku aku rahasiakan. Di sini, Aku
bisa saja ngajar MI, MTs, bahkan Aliyah. Karena, di pondok ini
mengelola juga pendidikan, sedang guru-gurunya hanya beberapa yang lulusan
sarjana. Namun, Aku lebih suka memanggul batu di hutan bersama Syamsudin, temanku asli Madura. Aku bisa
tenang saat kerja di hutan yang ditemani perkutut-perkutut alas. Saat istirahat siang aku bisa ngobrol dengan
orang Madura, warga desa yang rumahnya dekat hutan di surau-surau mereka.
“Kang, kita harus bisa melupakan masa
lalu. kita harus menghadapi masa sekarang, lebih-lebih masa yang akan datang.
Nasib, jodoh, rejeki, dan mati itu sudah diatur oleh Allah sebelum manusia
diciptakan. Jadi, Kang Salman jangan berlarut-larut dalam kesedihan,” kata Kang
Syaiful ketika aku menceritakan semua masalahku kepadanya satu bulan setelah
aku tinggal dipondok ini. Ketika aku masih larut dalam
masalah-masalhku.”Berarti, Nawang itu tidak jodoh Kang Salman” dia menambahkan.
Kata-kata yang keluar dari mulut
ketua pondok itulah yang selalu aku
pegang untuk menapaki hidupku di pondok pesantren ini. Walau kenyataannya sangat berat dan sulit, tidak
semudah yang diucapkan Kang Saipul. Kang Saipul bisa berkata seperti itu
mungkin karena tidak pernah mengalami yang aku rasakan selama ini. Kalau dia
merasakan apa yang aku alami pasti dia juga akan bersikap seperti apa yang aku
lakukan meski dia sudah hapal 30 juz Al-quran. Karena dia juga manusia biasa
yang punya suka dan duka, yang punya bahagia dan derita.
Tiga bulan yang lalu Bapak masuk rumah sakit. Beliau
dirawat selama sepuluh hari. Meski begitu, aku tidak pulang melihat keadaan
bapak. Padahal antara Pati dan Madura hanya butuh waktu satu hari. Biarlah aku
dianggap oleh orang-orang desaku kalau aku ini anak yang tidak berbakti. Yang
penting aku tidak punya niatan seperti itu. Sebagai gantinya, aku disini selalu
berdo’a dan membacakan surat Fatihah untuk kesembuhan Bapak. Aku juga berdoa
untuk Mak dan saudara-saudaraku. Agar mereka selalu dilindungi oleh Allah,
diberi kesehatan, keselamatan dan dikabulkan segala keinginan.
Saat Bapak
dirawat di rumah sakit, aku ditelepon kakak-kakakku tapi aku tidak pernah
menghiraukan. Ketika aku mendengar suara Mak di dalam telpon aku tidak kuasa.
Aku tidak sengaja meneteskan air mata. Aku betul-betul kangen pada orang tua
yang telah membesarkan aku. Orang tua yang telah menumpahkan semua air susunya
kepada anak-anaknya yang bisa meraih
mimpi-mimpinya.
“ Le.., ayahmu masuk rumah sakit.
Kamu pulang yo,le....!”.
“Sakit
apa, Mak?” jawabku sedikit terkejut karena Bapak tidak pernah sakit. Bapak
orangnya luar biasa. Bapak tidak pernah minum pil atau jamu. Kalau badannya
pegal-pegal cukup minta pijit saja. Dia paling enggan kalau pergi ke dokter.
Kalau diajak kedokter lebih baik dia minta dibelikan sate itu sudah cukup.
“Bapakmu
sakit perut. Kamu pulang yo, Le! Mak juga kangen karo kamu”
“Ya,
Mak! Salman juga kangen dengan,Mak!” jawabku untuk menyenangkan hatinya.
Mak
tidak menau masalahku. Mengapa wanita
tua itu harus menanggung hukumanku? Ah biarlah, aku tetap pada keputusanku. Aku
belum pulang kalau belum mampu melupakan Nawang dan sebelum aku dapat menemukan
pengganti Nawang. “Mak, ma’afkan aku. Ma’afkan anakmu yang belum bisa menuruti
keinginanmu. Aku belum bisa pulang karena di rumah ada menantumu yang menjadi
bagian dari hidupku .Aku tidak mau
menghancurkan semuanya. Biarlah aku yang hancur asalkan Nawang dan Kang Khoirun
bahagia.”
Sampai
saat ini aku belum pulang. Ketika Bapak pulang dari rumah sakit aku juga diberi
tau. Aku hanya dapat mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah kalau bapak
masih diberi kesembuhan. Aku juga disuruh pulang oleh keluargaku karena bapak
kangen kepada aku. Aku belum siap pulang. Aku belum siap bertemu dengan Nawang.
Aku belum bisa membuang perasaanku terhadap Nawang yang sudah tertanam dalam
hati dan jiwaku. Hati dan jiwa Nawang sudah bercampur dalam urat nadiku. Napas
Nawang sudah masuk dalam rongga jantungku. Sehingga aku sulit melupakannya.
Sehingga aku sulit menikam perasaanku kepada wanita yang kini menjadi kakak
iparku. Aku akui dia sangat berarti bagiku. “Nawang….ah….!”
Mungkin,
Bapaklah orang yang paling bersalah dalam hal ini. Kenapa dia melamar Nawang
untuk kakakku bukan untuk aku. Padahal aku dan Nawang saling menyayangi.Aku dan
Nawang saling mengasihi. Cinta Nawang kepadaku sangat tulus, begitu juga aku.
Aku selalu teringat kata-kata Nawang
waktu aku dan dia berada di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terletak
dekat dengan Pantai Kartini, Jepara.
Pada saat itu aku, Nawang dan teman-teman berekreasi ke sana. Dia begitu tulus
mengucap janji setia kepadaku.
“
Kang, adek tidak pernah menikah kalau bukan dengan Kang Salman. Adek sangat
cinta, kepada Kakang. Adek sangat sayang
,kepada Kakang. Percayalah Kang….! Hati Nawang hanya untuk Kang Salman seorang.
Hati Nawng tidak akan adek berikannya
kepada yang lain.”
Begitu
lugu dan polos ucapan-ucapan Nawang kepadaku. Dia juga menatapku dengan dalam
dan mencoba meyakinkan aku kalau dia betul-betul mencintaiku. Ucapan-ucapan
Nawang menyentuh perasaanku. Aku tau dia berkata tulus. Aku tau dia berkata
dengan jujur, kata-kata yang diucapkan keluar dari lubuk hatinya yang paling
dalam.
”Terima
kasih Nawang. Aku juga sayang... kepadamu. Aku juga cinta.. kepadamu,” balasku
dengan menatap gadis cantik itu. Aku juga tulus mengucapkan kalimat itu. Karena
gadis yang aku cinta hanya dia, Nawang Sri Hastuti putra Bapak Jamil, seorang
petani kaya di desaku.
Begitu
indah hari-hariku saat masih bersama Nawang. Aku sering mengajak jalan-jalan
Terkadang ia juga yang minta mengajakku jalan-jalan. Bahkan ibunya juga kompak.
Beliau sering menyuruh aku mengajak jalan-jalan Nawang kalau ada hari liburan.
Baik libur semesteran maupun libur akhir tahun. Beliau selalu mengharap aku untuk dolan-dolan kerumahnya. Ibu Nawang
mengharapkan aku menjadi menantunya. Tetapi aku belum berani. Karena waktu itu
aku baru lulus Aliyah. Aku masih kepengen kuliah. Nawangpun waktu itu baru
lulus Mts. Aku sepakat dengan Nawang kalau dia melanjutkan sekolahnya sedang
aku kuliah. Nanti kalau sudah selesai kuliah aku akan membawa keluarga besarku
ke rumahnya untuk melamar anak kedua Bapak Jamil Noto sutanto itu .
Pada
saat Nawang lulus aliyah Bapak kerumah Nawang. Dia bermaksud meminang Nawang.
Terang saja orang tua Nawang mengiyakan. Karena mereka menganggap Bapak
meminang Nawang untuk aku. Saat itu Nawang juga ditanyai , ia senyum-senyum dan
setuju. Ibu Nawang juga berbesar hati karena dia kira aku menepati janji. Dia
kira Bapak ke rumah petani kaya itu yang menyuruh aku. Mereka sepakat
pernikahan di percepat.
Nawang
waktu itu mengabari aku kalau bapak kerumahnya. Begitu gembira hati Nawang begitu juga aku. Kemudian
aku putuskan untuk pulang ke rumah.
Waktu itu aku masih di jogja,
meskipun aku sudah lulus kuliah, aku masih di sana. Setelah aku sampai rumah
aku bertanya kepada Bapak apa betul ia pergi ke rumah Pak Jamil meminang
Nawang.Tapi, Bapak meminang Nawang untuk Kang Khoirun bukan untuk aku.
Nawang belum tau kalau pinangan itu untuk Kang
Khoirun bukan untuk aku. Kelurga Bapak Jamil juga tidak tau. Mereka menganggap
kalau yang akan dinikahkan Bapakku itu aku. Setelah Nawang tahu kalau yang
menikah dengannya Kang Khoirun, hatinya jadi hancur. Dia betul-betul tidak mau
menikah dengan kakakku. Namun, Nawang tidak mampu melawan semua itu. Orang tua
Nawang tidak mampu membatalkan pernikahan. Bapak Jamil tidak berani
mengungkapkan kepada Bapak kalau yang diinginkan jadi menantunya itu aku bukan
Kang Khoirun.
Nawang mengajakku lari dari rumah. Dia ingin
pergi jauh dari rumah. Dia ingin hidup bersamaku. Dia ingin membangun rumah
tangga bersamaku. Tetapi, perbuatan itu tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak
mau merusak tatanan. Aku tidak mau menghancurkan keluargaku. Aku tidak berani
mengubah keputusan Bapakku. Bapak menikahkan Kang Khoirun dengan banyak
pertimbangan. Tetapi, aku yang jadi korban.
“Man!”
Suara Kang Khoirun di dalam telepon.
“Iya,
kak! Ada apa?”
“Akhirnya,
kakak akan jadi bapak, Man. Aku akan jadi bapak man! He, he, he…..
“Alhamdulillah….!”
Kataku dengan menahan napas dan perasaan.
“Bak
Yu mu Nawang hamil tiga bulan. Besok kamu pulang, yo! Karena, besok Sabtu kakak
akan mengadakan selametan. Awas kalau tidak pulang!”
“Ia,
kak! Insyaallah Salman akan pulang.”
Masih
banyak lagi yang dibicarakan kang Khoirun di dalam telepon tentang dirinya,
tentang keluarga dan tentang Nawang. Tetapi, Aku tidak tau harus bagaimana. Aku hanya sebagai
pendengar yang setia. Kabar dari Kang Khoirun membuat aku bahagia dan juga
membuat aku sakit hati. Bahagia karena kakak akan punya anak dan aku akan punya
keponakan. Yang membuat aku sakit hati Nawang sudah melupakan janji.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda