Rabu, 31 Januari 2018

Puisi Istriku (Musikalisasi Puisi Santri YPRU #3) Oleh Maksum XII BHS 1

Label: ,

Sabtu, 21 Februari 2015

Cerpen : MEMBUNUH RASA



MEMBUNUH RASA
Oleh : Pak Guru Top

            Sudah satu tahun lebih aku berada di Pondok Madu Kawan, Pulau Madura ini. Aku berada di sebuah pondok pesantren yang terletak di daerah pegunungan, di Desa Pelesangger Kabupaten Pamekasan. Selama di sini,aku belum pernah  pulang ke rumah. Aku berusaha mengusir kekangenanku kepada Emak, Bapak, Kang Khoirun dan lebih-lebih kepada Nawang dengan mengikuti kegiatan di pondok pesantren ini.
Untung,  di sini  banyak aktivitas yang aku jalani sehingga aku mampu melewati hari-hariku walau bayang-bayang mereka selalu hadir di setiap hariku. Walau bayang-bayang mereka hadir setiap langkahku. Lebih-lebih bayang-bayang Nawang yang selalu hadir setiap desah napasku, karena Nawang telah menyatu dalam hidupku. Nawang telah masuk dalam jasad dan sukmaku.
Aku pergi meninggalkan rumah sejak Kang Khoirun menikah dengan Nawang. Waktu itu aku pergi dari rumah setelah menyaksikan akad nikah.Aku pergi tidak pamit dengan keluarga. Aku hanya berpesan kepada Bambang kalau  Bapak atau Mak  tanya, aku suruh bilang kalau  aku dapat panggilan pekerjaan. Waktu  itu aku pergi hanya untuk menenangkan diri. Ya, mungkin untuk beberapa hari.Tetapi, aku malah nyampe di Pulau Garam ini.
           Waktu itu aku hanya bawa beberapa potong pakain saja. Aku tidak bawa ijazah atau surat-surat penting lainnya karena aku tidak berniat cari kerja. Untuk memnuhi perutku aku ikut Pak Yai.Di sini setiap hari aku disuruh mengumpulkan batu dari hutan yang terletak di gunung yang jaraknya 5 KM dari pondok ini. Mungkin jaraknya sama dengan jarak antara Desa Guyangan Trangkil sampe Juwana. Aku berangkat dan pulang berjalan kaki bersama temanku, samsudin anak dalem juga.
           Walau aku seorang sarjana lulusan UIN Sunan Kalijaga Jogja, Jurusan Tarbiah tetapi identitasku aku rahasiakan. Di sini,  Aku bisa saja ngajar MI, MTs, bahkan Aliyah. Karena, di pondok ini mengelola juga pendidikan, sedang guru-gurunya hanya beberapa yang lulusan sarjana. Namun, Aku lebih suka memanggul batu di hutan bersama Syamsudin, temanku asli Madura. Aku bisa tenang saat kerja di hutan yang ditemani perkutut-perkutut alas.  Saat istirahat siang aku bisa ngobrol dengan orang Madura, warga desa yang rumahnya dekat hutan di surau-surau mereka.
           “Kang, kita harus bisa melupakan masa lalu. kita harus menghadapi masa sekarang, lebih-lebih masa yang akan datang. Nasib, jodoh, rejeki, dan mati itu sudah diatur oleh Allah sebelum manusia diciptakan. Jadi, Kang Salman jangan berlarut-larut dalam kesedihan,” kata Kang Syaiful ketika aku menceritakan semua masalahku kepadanya satu bulan setelah aku tinggal dipondok ini. Ketika aku masih larut dalam masalah-masalhku.”Berarti, Nawang itu tidak jodoh Kang Salman” dia menambahkan.
           Kata-kata yang keluar dari mulut ketua pondok  itulah yang selalu aku pegang untuk menapaki hidupku di pondok pesantren ini. Walau  kenyataannya sangat berat dan sulit, tidak semudah yang diucapkan Kang Saipul. Kang Saipul bisa berkata seperti itu mungkin karena tidak pernah mengalami yang aku rasakan selama ini. Kalau dia merasakan apa yang aku alami pasti dia juga akan bersikap seperti apa yang aku lakukan meski dia sudah hapal 30 juz Al-quran. Karena dia juga manusia biasa yang punya suka dan duka, yang punya bahagia dan derita.
Tiga bulan yang lalu Bapak masuk rumah sakit. Beliau dirawat selama sepuluh hari. Meski begitu, aku tidak pulang melihat keadaan bapak. Padahal antara Pati dan Madura hanya butuh waktu satu hari. Biarlah aku dianggap oleh orang-orang desaku kalau aku ini anak yang tidak berbakti. Yang penting aku tidak punya niatan seperti itu. Sebagai gantinya, aku disini selalu berdo’a dan membacakan surat Fatihah untuk kesembuhan Bapak. Aku juga berdoa untuk Mak dan saudara-saudaraku. Agar mereka selalu dilindungi oleh Allah, diberi kesehatan, keselamatan dan dikabulkan segala keinginan.
Saat   Bapak dirawat di rumah sakit, aku ditelepon kakak-kakakku tapi aku tidak pernah menghiraukan. Ketika aku mendengar suara Mak di dalam telpon aku tidak kuasa. Aku tidak sengaja meneteskan air mata. Aku betul-betul kangen pada orang tua yang telah membesarkan aku. Orang tua yang telah menumpahkan semua air susunya kepada anak-anaknya yang  bisa meraih mimpi-mimpinya.
            “ Le.., ayahmu masuk rumah sakit. Kamu pulang yo,le....!”.
“Sakit apa, Mak?” jawabku sedikit terkejut karena Bapak tidak pernah sakit. Bapak orangnya luar biasa. Bapak tidak pernah minum pil atau jamu. Kalau badannya pegal-pegal cukup minta pijit saja. Dia paling enggan kalau pergi ke dokter. Kalau diajak kedokter lebih baik dia minta dibelikan sate itu sudah cukup.
“Bapakmu sakit perut. Kamu pulang yo, Le! Mak juga kangen karo kamu”
“Ya, Mak! Salman juga kangen dengan,Mak!” jawabku untuk menyenangkan hatinya.
Mak tidak menau masalahku. Mengapa  wanita tua itu harus menanggung hukumanku? Ah biarlah, aku tetap pada keputusanku. Aku belum pulang kalau belum mampu melupakan Nawang dan sebelum aku dapat menemukan pengganti Nawang. “Mak, ma’afkan aku. Ma’afkan anakmu yang belum bisa menuruti keinginanmu. Aku belum bisa pulang karena di rumah ada menantumu yang menjadi bagian dari hidupku  .Aku tidak mau menghancurkan semuanya. Biarlah aku yang hancur asalkan Nawang dan Kang Khoirun bahagia.”
Sampai saat ini aku belum pulang. Ketika Bapak pulang dari rumah sakit aku juga diberi tau. Aku hanya dapat mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah kalau bapak masih diberi kesembuhan. Aku juga disuruh pulang oleh keluargaku karena bapak kangen kepada aku. Aku belum siap pulang. Aku belum siap bertemu dengan Nawang. Aku belum bisa membuang perasaanku terhadap Nawang yang sudah tertanam dalam hati dan jiwaku. Hati dan jiwa Nawang sudah bercampur dalam urat nadiku. Napas Nawang sudah masuk dalam rongga jantungku. Sehingga aku sulit melupakannya. Sehingga aku sulit menikam perasaanku kepada wanita yang kini menjadi kakak iparku. Aku akui dia sangat berarti bagiku. “Nawang….ah….!”
Mungkin, Bapaklah orang yang paling bersalah dalam hal ini. Kenapa dia melamar Nawang untuk kakakku bukan untuk aku. Padahal aku dan Nawang saling menyayangi.Aku dan Nawang saling mengasihi. Cinta Nawang kepadaku sangat tulus, begitu juga aku. Aku selalu  teringat kata-kata Nawang waktu aku dan dia berada di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terletak dekat dengan Pantai  Kartini, Jepara. Pada saat itu aku, Nawang dan teman-teman berekreasi ke sana. Dia begitu tulus mengucap janji setia kepadaku.
“ Kang, adek tidak pernah menikah kalau bukan dengan Kang Salman. Adek sangat cinta, kepada Kakang. Adek  sangat sayang ,kepada Kakang. Percayalah Kang….! Hati Nawang hanya untuk Kang Salman seorang. Hati Nawng  tidak akan adek berikannya kepada yang lain.”
Begitu lugu dan polos ucapan-ucapan Nawang kepadaku. Dia juga menatapku dengan dalam dan mencoba meyakinkan aku kalau dia betul-betul mencintaiku. Ucapan-ucapan Nawang menyentuh perasaanku. Aku tau dia berkata tulus. Aku tau dia berkata dengan jujur, kata-kata yang diucapkan keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
”Terima kasih Nawang. Aku juga sayang... kepadamu. Aku juga cinta.. kepadamu,” balasku dengan menatap gadis cantik itu. Aku juga tulus mengucapkan kalimat itu. Karena gadis yang aku cinta hanya dia, Nawang Sri Hastuti putra Bapak Jamil, seorang petani kaya di desaku.
Begitu indah hari-hariku saat masih bersama Nawang. Aku sering mengajak jalan-jalan Terkadang ia juga yang minta mengajakku jalan-jalan. Bahkan ibunya juga kompak. Beliau sering menyuruh aku mengajak jalan-jalan Nawang kalau ada hari liburan. Baik libur semesteran maupun libur akhir tahun. Beliau  selalu mengharap aku untuk dolan-dolan kerumahnya. Ibu Nawang mengharapkan aku menjadi menantunya. Tetapi aku belum berani. Karena waktu itu aku baru lulus Aliyah. Aku masih kepengen kuliah. Nawangpun waktu itu baru lulus Mts. Aku sepakat dengan Nawang kalau dia melanjutkan sekolahnya sedang aku kuliah. Nanti kalau sudah selesai kuliah aku akan membawa keluarga besarku ke rumahnya untuk melamar anak kedua Bapak Jamil Noto sutanto itu .
Pada saat Nawang lulus aliyah Bapak kerumah Nawang. Dia bermaksud meminang Nawang. Terang saja orang tua Nawang mengiyakan. Karena mereka menganggap Bapak meminang Nawang untuk aku. Saat itu Nawang juga ditanyai , ia senyum-senyum dan setuju. Ibu Nawang juga berbesar hati karena dia kira aku menepati janji. Dia kira Bapak ke rumah petani kaya itu yang menyuruh aku. Mereka sepakat pernikahan di percepat.
Nawang waktu itu mengabari aku kalau bapak kerumahnya. Begitu  gembira hati Nawang begitu juga aku. Kemudian aku putuskan untuk pulang ke rumah.  Waktu  itu aku masih di jogja, meskipun aku sudah lulus kuliah, aku masih di sana. Setelah aku sampai rumah aku bertanya kepada Bapak apa betul ia pergi ke rumah Pak Jamil meminang Nawang.Tapi, Bapak meminang Nawang untuk Kang Khoirun bukan untuk aku.
 Nawang belum tau kalau pinangan itu untuk Kang Khoirun bukan untuk aku. Kelurga Bapak Jamil juga tidak tau. Mereka menganggap kalau yang akan dinikahkan Bapakku itu aku. Setelah Nawang tahu kalau yang menikah dengannya Kang Khoirun, hatinya jadi hancur. Dia betul-betul tidak mau menikah dengan kakakku. Namun, Nawang tidak mampu melawan semua itu. Orang tua Nawang tidak mampu membatalkan pernikahan. Bapak Jamil tidak berani mengungkapkan kepada Bapak kalau yang diinginkan jadi menantunya itu aku bukan Kang Khoirun.
 Nawang mengajakku lari dari rumah. Dia ingin pergi jauh dari rumah. Dia ingin hidup bersamaku. Dia ingin membangun rumah tangga bersamaku. Tetapi, perbuatan itu tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak mau merusak tatanan. Aku tidak mau menghancurkan keluargaku. Aku tidak berani mengubah keputusan Bapakku. Bapak menikahkan Kang Khoirun dengan banyak pertimbangan. Tetapi, aku yang jadi korban.
“Man!” Suara Kang Khoirun di dalam telepon.
“Iya, kak! Ada apa?”
“Akhirnya, kakak akan jadi bapak, Man. Aku akan jadi bapak man! He, he, he…..
“Alhamdulillah….!” Kataku dengan menahan napas dan perasaan.
“Bak Yu mu Nawang hamil tiga bulan. Besok kamu pulang, yo! Karena, besok Sabtu kakak akan mengadakan selametan. Awas kalau tidak pulang!”
“Ia, kak! Insyaallah Salman akan pulang.” 
Masih banyak lagi yang dibicarakan kang Khoirun di dalam telepon tentang dirinya, tentang keluarga dan tentang Nawang. Tetapi, Aku  tidak tau harus bagaimana. Aku hanya sebagai pendengar yang setia. Kabar dari Kang Khoirun membuat aku bahagia dan juga membuat aku sakit hati. Bahagia karena kakak akan punya anak dan aku akan punya keponakan. Yang membuat aku sakit hati Nawang sudah melupakan janji.
Aku belum bisa memutuskan akan pulang atau tidak..




Label: , ,