Minggu, 10 April 2016

ISTANA DI DALAM PAHA


ISTANA DI DALAM PAHA
oleh:
       Pak Guru Top 

Hujan telah berhenti mengguyur bumi beberapa jam tadi. Namun, sisa rintiknya masih menghempaskan kepedian  ke relung hati Sandra teramat dalam. Cobaan demi cobaan datang beruntun bagai gerbong kereta senja berjejer, berjalan tak ada ujung. Sejak awal berumah tangga hingga punya anak dua, luka demi luka menggores belum ada obatnya. Derita selalu terhampar tak kunjung jua sirna. Sakit putrinya belum juga sembuh, Sandra mendengar kabar kalau suaminya masuk penjara.
Walau, duka kian dalam tertanam di dada, wanita yang pernah menjadi bunga di kampungnya itu mampu memaksa bibirnya terseyum. Ada rasa bahagia dalam jiwa karena melihat dua buah hatinya tertidur pulas. Terutama anak pertamanya, Wanda. Putri pertama Sandra itu malam ini sangat menikmati tidurnya. Sukmanya melayang-layang bersama temannya menuju suatu tempat yang jauh …,temapat yang tak pernah terjangkau oleh kemampuan manusia. Teman yang dikenalnya beberapa bulan yang lalu sebelum Wanda dilarikan ke rumah sakit.
“Tidurlah, jiwa! Tidurlah, tambatan hati Mama. Tidurlah sayang…! Mama  akan selalu di sini menjagamu!” ucapan lembut Sandra kepada putrinya yang sakit sejak ditinggal papanya.
Sandra merebahkan tubuh geringnya di belakang Wanda. Dia menatap dalam dua buah hati yang menjadi harapan hidup dan sebagai pengobat luka atas semua derita. Ibu muda cantik itu mengelus lembut rambut kedua putrinya bergantian. Ciuman kasih sayang selalu didaratkan di pipi kanan, pipi kiri, dan kening kedua gadis kecilnya yang  belum menahu beban hidup yang berat melekat di pundak Sandra.
Sandra mencoba memejamkan mata. Namun, kedua bola matanya tak mau mengatup. Pikirannya membawa ingatannya ke masa lalu. Bagaimana suaminya bekerja keras siang malam memulai membangun usaha sehingga nasib mujur berpihak pada keluarganya. Herman, suaminya mampu telah mewujudkan cita-cita yang ditawarkan kepadanya sebelum membina rumah tangga. Suaminya mampu membawanya dari rumah kontrakan kecil yang setiap malam pada musim hujan tidak bisa tidur karena genteng bocor ke rumah megah laintai dua bersertifikat hak milik sendiri.
Namun, Badai datang sangat tiba-tiba.  Kejayaan yang diberikan suami tercinta begitu cepat tercabut dari  akarnya. Kesuksesan yang hingggap dalam hidupnya yang dibangun bersama suaminya bertahun-tahun harus terenggut secara paksa. Mulai dari truknya yang menabrak orang sehingga Herman harus mengeluarkan berpuluh juta uang untuk menebus sopirnya dari penjara sampai gudang tempat usahanya terbakar. Kini kepedihanlah yang bertahta. Sebagai manusia biasa goyah kadang menyelinap masuk dalam jiwa. Api yang menyala abadi dalam jiwa menghanguskan jiwa yang kian rapuh. Namun, semua itu ditepisnya.
Kepahitan yang telah ditelan berbulan-bulan tayang di benak Sandra mulai ditimbunnya dengan keyakinan dan kepasrahan jiwa. Dikatupkan bola matanya yang indah berharap malam melaju dengan cepat. Berharap esok hari  akan terang kembali seterang harapan dan cita-citanya bersama Herman, lelaki yang telah dipilihnya menjadi imam dalam hidupnya 10 tahun lalu. Lelaki yang tiga bulan lalu harus pergi meninggalkan anak istrinya merantau ke sumatra. Lelaki yang kini mendekam dipenjara karena bukan kesalahannya.
Belum juga lima menit sukma Sandra melayang-layang meninggalkan jasad yang bergelayut beban hidup yang berat. Tubuhnya sudah digoyang-goyangkan oleh bijih mata pertamanya.
“Ma…! Ma…! Ma….! Bangun Ma…..! Ma..! Bangun Ma…!”
Sandra tersentak kaget. Dia mencoba mengembalikan kesadarannya yang baru saja berenang-renang di alam mimpinya. Kesedarannya perlahan terbuka.
“Ada apa, sayang…!”
“Lihat, Ma! Di dalam paha Wanda sebelah kanan ada bangunan yang megah seperti istan!” kata Wanda kepada mamanya dengan mengarahkan jari telunjuknya ke paha kanannya. “Ini lo Ma, lihat….!  Di  situ juga ada gadis kecil seumuran dengan aku. Dia senyum-seyum. Wajahnya  cantik. Dia memakai baju putih. Gadis kecil itu melambai-lambaikan tangannya memanggil aku.”
Sandra mengarahkan pandangannya ke paha Wanda sebelah kanan. Namun dia tidak melihat apa-apa. Dia tidak segera menanggapi kata-kata anaknya. Bahkan, ia pura-pura tidak mendengar kata-kata yang diucapkan putri yang sering sakit-sakitan itu. Ingatannya melesat membuka kembali peristiwa satu setengah bulan yang lalu ketika temannya, Akilah dan suaminya yang bernama Zainuddin menjenguk Wanda di rumah sakit. Suami Akila mengatakan bahwa ada kekuatan energi negatif yang besar dalam tubuh Wanda. Menurut  mata batin penggila batu akik itu Wanda sakit tidak wajar, di dalam tubuh Wanda ada bangunan yang megah mirip istana beserta penghuninya.
Namun, perkataan Zainuddin waktu itu dianggap aneh dan  ngoyo woro oleh Sandra. Lebih-lebih kata-kata yang dilontarkan Zainuddin yang menurut Sandra tidak masuk akal sama sekali bahwa di dalam paha anaknya yang sebelah kanan terdapat istana beserta penghuninya.
“Mana  mungkin dalam paha anakku ada istana? Aneh..! Dasar sinting! Edan..! Wong ra waras!” Banyak sekali  makian yang keluar dari mulut Sandra waktu itu setelah Akila dan suaminya mohon diri dari ruangan Wanda.
Sebetulnya, keganjilan sudah tumbuh pada diri Wanda jauh sebelum Herman mengalami kebangkrutan. Pernah suatu waktu Sandra melihat anaknya ketawa cekikikan sendiri di dapur.  
” Kakak kok ketawa sendirian ada apa?” tanya Sandra kepada anaknya.
”Aku diajak bermain anak-nak kecil yang tinggal di pohon duet belakang rumah Pak Kardi, Ma! Tadi mereka berkunjung ke sini. Mereka pergi karena ada mama. Besok-besok mereka berjannji akan ke sini lagi” jawab Wanda.
Wanda juga pernah hilang pada saat diajak mamanya di balai desa. Waktu itu Sandra ikut senam ibu-ibu PKK yang diselenggarakan setiap hari Kamis sore. Setelah selesai senam Sandra tidak mendapati anaknya. Sandra mencoba mencari Wanda di seluruh ruangan balai desa namun tidak ada. Dicari di rumah juga tidak ada.  Orang sekampung  menjadi heboh atas hilangnya Wanda. Mereka beramai-ramai terjun mencari Wanda di setiap sudut desa sampai di sawah dan dadah. Namun, hasilnya nihil. Wanda tidak bisa dibawa pulang.  Baru, sekitar pukul 9 Wanda ditemukan di kamarnya. Katanya, dia diajak teman barunya menuju ke istananya.
Pernah juga bocah kecil itu mengalami ketakutan yang luar biasa. Dia berterik-teriak karena melihat orang hitam, tinggi besar punya tanduk. Namun, kejadian-kejadian semua itu ditanggapi biasa saja oleh Sandra. 
 “Mama, kok malah diam!”  kata bocah kecil itu ketika menunggu agak lama reaksi mamanya tentang istana dalam pahanya.
Sandra tersentak. Lamunannya buyar seketika. Dia baru sadar kalau putrinya sedang menunggu jawaban dan perhatian darinya. Sandra mencoba mengingat kata-kata dilontarkan kepadanya. Namun, kata-kata Wanda tadi belum terbenam dalam benak sandra. 
 “Iya, ada apa sayang…!”  
“Lihat, Ma…! Ada  istana di paha Wanda. Di  situ ada gadis yang seumuran dengan aku. Dia senyum-seyum. Wajahnya  cantik. Dia memakai baju putih,” Wanda mengulangi kata-katanya.
“ Istana kok di dalam paha kakak! Kakak jangan bercanda, ah!”
“Betul, Ma! Wanda tidak bohong. Coba lihat, Ma…!Ini, di paha kakak yang kanan, yang ada hitam-hitamnya ini.”
“Coba mama mau lihat! Mana? Mama kok gak lihat apa-apa?”
“Ini lo, Ma…!” kata Wanda dengan mengangkat paha kanannya. 
Sandra mengarahkan pandangannya ke paha anaknya sebelah kanan. Dia berharap melihat istana di dalamnya. Namun, Sandra tetap saja tidak dapat melihat istana yang dimaksud putrinya. Dia hanya menangkap bercak-bercak hitam bekas luka. Bercak  hitam itu sisa luka tiga bulan yang lalu sebelum Wanda dilarikan ke rumah sakit. Bercak  hitam yang berbentuk seperti bisul itu  secara tiba-tiba ada di tubuh Wanda, tidak diketahui penyebabnya. Di dalam luka itu ada garis-garis hitam. Jika garis-garis hitam itu disentuh dan ditarik seperti rambut yang panjang.
“Ma….! Mama…! Wanda takut…!” jerit Wanda secara tiba-tiba.
“Kakak, takut apa?”
“Takut kepada orang itu, Ma….!”
“Mana…? Di sini kita hanya bertiga. Tidak ada orang lain!”
“Itu, Ma… di pojok kamar kita!”
“Mana…? Di pojok itu tidak ada siapa-siapa, kok!”
“Ada Ma! Itu, lo Ma….!” Wanda mengarahkan jari telunjuknhya ke pojok kamar sementara matanya di benamkan ke tubuh mamanya. “ Ada orang badannya hitam, tinggi, besar, berbulu dan mempunyai tanduk di pojok kamar kita! Di dekat orang itu ada wanita cantik memakai baju putih, rambutnya panjang! Wanda takut, Ma….! Orang itu yang selalu jahat kepada kepada kita!”
Kata-kata Wanda benar-benar telah menusuk relung hati Sandra yang paling dalam. Ketakutan mulai menyelimuti jiwanya. Kulit tubuhnya merinding. Dia mendekap putrinya semakin erat. Kepala Wanda dibenamkan Sandra ke tubuhnya dalam-dalam. Benaknya menangkap  makluk halus yang dimaksud anaknya pasti, Gendruwo dan istrinya, kuntilanak. Kedua makhluk itu memang sangat menyeramkan bagi Sandra. Makhluk itulah yang dikatakan Zainuddin waktu itu sebagai penghuni istana.
Sandra berusaha tenang tatapi gurat ketakutan tetap hinggap dalam jiwanya. Hatinya menangis. Namun, tangisan jiwanya, ia sembunyikan. Dia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan Wanda. Dia  berusaha mengatur napas agar pikiran dan perasaannya tenang. Ditariknya napas dalam-dalam kemudian  perlahan dia bicara.
 “Jangan takut ya, Sayang…! Di sini kan, ada mama!” Sandra mencoba meredam ketakutan Wanda.
Dengan hati yang berdebar kencang dan dengan keberanian yang dipaksakan, Sandra menatap tajam paha anaknya. Dia mengucapkan doa-doa sebisanya. Mulutnya komat-kamit membaca doa-doa yang diingatnya.
“Ma…, badan ku panas sekali! Udah, Ma..jangan baca doa!
Walau Wanda kejang-kejang dan berteriak-teriak  badannya sakit dan panas semua, Sandra tidak memperdulikan keadaan putrinya. Dia semakin  keras membaca doa. Tidak beberapa lama Wanda rebah di tempat tidur. Gadis kecil itu pingsang beberapa saat lamanya. Setelah  Wanda sadar, dia mengatakan kalau orang tinggi besar dan wanita cantik itu sudah hilang. Istana di pahanya pun sudah tidak kelihatan. Sandra menghela napas panjang. Ucapan syukur “Alhamdulillah” dilantunkan tak terkira dalam hati.

Kemudian,  Sandra mendekap putrinya erat-erat. Diciumi  kening dan pipinya. Belaian kasih sayang diusapkan di rambut dan tubuh putrinya. Setelah putrinya memejamkan mata. Sandra cepat-cepat ambil air wudhu untuk sholat tahajud dan membaca al-Quran. Dia berharap makluk-makluk itu betul-betul telah meninggalkan putrinya. Semoga Genderuwo dan Kuntilanak itu telah pergi jauh dari kehidupan Wanda. Dia bertekat esok pagi akan pergi ke orang pintar untuk kesembuhan putrinya. Dia juga ingin membuktikan kebenaran mata batin Zainuddin bahwa kebangkrutan suaminya juga ada kaitannya dengan istana dalam tubuh putrinya. Walau dia masih bingung kemana dan kepada siapa orang yang akan mampu menutup lukanya dan kesembuhan anaknya,Wanda. Dalam hati ada keyakinan pasti ada jalan terang yang membentang di depan. “Puasa pasti ada buka. Luka pasti ada obatnya” batinnya.
Setelah sholat tahajut 2 rakaat ditambah sholat witir 3 rakaat dan sholat hajat 2 rokaat tidak kenyamanan yang didapat Sandra. Tubuhnya terasa berat. Seperti ada beben yang sangat berat bertengger dipunggunya. badannya terasa panas. Seperti dipanggang  di atas api. 

Label: ,