HARAPAN DI UJUNG SENJA
Harapan di Ujung Senja
cerpen: Pak Guru Top
cerpen: Pak Guru Top
Jika aku tidak
dihadang tanggung jawab kedua putriku, pastinya senja ini merupakan senja pendak pindho hari kematianku. Dua tahun yang lalu aku jatuh
terpuruk dalam pangkuan derita yang berliku seperti tangga yang membelit tanah merah. Dimana
waktu gema takbir mengiringi jeritan
batinku. Kala itu gemuruh lantunan kebesaran Ilahi Robbi bebarengan raungan
tangisku. Mas Jarwo secara gamblang menantangku untuk hengkang dari rumah ini.
Jika aku tidak berkenan, dia yang minggat dari rumah dengan membawa Ratmini
pergi. Waktu itu rasa maluku membuat aku jauh dari harapan hidup. Malu pada
tetangga dan sanak saudara. Lebih-lebih malu kepada ibu dan bapak yang telah
bersikukuh menolak perkawinanku dengan lelaki yang aku pilih menjadi imam.
“Piye, Nduk ! Benar to kandane wong tuwo to. Orang tua itu
punya mata batin yang kuat. Orang tua bersikap untuk kebaikan anaknya. Tidak
ada orang tua yang mau melihat anaknya sengsara. Kita itu harus melihat orang
dengan hati tidak hanya dengan mata dhohir saja. Melihat orang, jangan hanya
lihat bungkusnya saja, tetapi juga lihat kedalaman hatinya. Ketampanan dan
kekayaan tak akan menjamin kebahagiaan. Orang tua itu punya firasat dan mata
batin yang kuat yang tidak dimiliki oleh anaknya.”
Itulah kata-kata ibu
kala mendengar Mas Jarwo minggat bersama Ratmini. Seandainya
perkawinanku dengan Mas Jarwo adalah kehendak orang tuaku, pasti sejak dulu aku
sudah kabur dari rumah ini dengan membawa kedua anakku. Aku tak peduli bapaknya
di mana rimbanya. Biarlah aku yang mencetak hidup mereka. Insyaallah aku
sanggup untuk membesarkan kedua putriku dengan tanganku. Aku juga pasti sanggup
membiayai pendidikan mereka dengan kerja kerasku. Karena selama hidup dengan
Mas Jarwo akulah yang menghidupi keluarga.
Akan tetapi,
perkawinanku dengan Mas Jarwo karena pilihanku sendiri. Dulu, telingaku tuli
akan nasihat orang tua. Aku ngotot menikah dengan Mas Jarwo di hadapan ayah dan
ibu. Aku memperjuangkan Mas Jarwo dengan
berbagai cara agar diterima mereka. Lebih-lebih di hadapan ibu, karena ibulah
orang yang menentang keras aku menikah dengan anak pemilik kebun tebu itu. Namun, kini perjuangan dan pengorbananku tertumpah sia-sia. Lelaki
sebagai tempat aku berteduh, melepas tanggung jawabnya. Memutus benang suci
perkawinan tanpa ada bukti pengadilan dengan membawa kabur Ratmini, tetanggaku.
Ketegaranku pulih
karena Yu Darminah. Tiap hari dia membangun kembali jiwaku yang semakin rapuh.
Tidak hanya ketika jagong saja.
Saat bekerja mulut Yu Darminah tidak pernah
diam. Kebetulan kami bekerja satu perusahaan di perusahaan meubel milik Wak
Karto, tetangga desa.
“Ratmini kwi wong kenther…, ra sah bok rasakno!
Yang penting kamu kerja untuk kebutuhanmu dan kedua anakmu! Yem-yem atimu! Kalau kamu sakit kasihan anak-anakmu.
Mereka juga ikut sakit!”
“Nggeh, Yu!” jawabku.
Yu Darminah orangnya
keras. Bicaranya ceplas-ceplos. Kalau orang hanya mendengar suaranya saja,
mengira kalau Yu Darminah ini orangnya tinggi dan besar. Itu salah. Suara Yu
Darminah tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya. Orangnya pendek. Tingginya hanya
sebahuku. Kalau orang-orang menyebut dia, manusia setengah batu. Namun, hatinya
baik. Dia berkata jujur dan apa adanya.
Sampai sekarang,
kuping Yu Darminah akan memerah jika mendengar nama Ratmini. Karena Kang
Kartono, suaminya pernah digoda perempuan ganjeng yang di tinggal lelakinya
merantau di Arab Saudi itu. Bahkan Ratmini pernah dilabrak Yu Darminah.
Pertengkaran adu mulut pun terjadi karena merasa benar. Setelah adu mulut
dilanjutkan saling menjegal. Lalu dilanjutkan jambak-menjambak rambut. Untung Pak Bayan datang memisah
perkelahian mereka. Kalau tidak pasti baik Yu Darminah maupun Ratmini babak
belur. Soalnya orang-orang yang berkerumun di tempat kejadian tidak berani
melerai perkelahian mereka. Orang-orang yang melihat kejadian secara langsung
hanya menonton.
“Menikmati tontonan
geratis!” kata mereka.
“Savana, kamu harus
rebut suami kamu! Dia adalah suami kamu yang sah! Seret Ratmini ke kantor polisi! Kamu jangan hanya diam saja. Hak
kita harus kita rebut kembali. Kita jangan mau diinjak-injak orang lain!”
Itulah prinsip yang selalu didengungkan kepadaku
oleh Yu Darminah bahwa kita jangan pernah mau dipermainkan orang lain. Harga
diri kita jangan sampai diinjak-injak. Hak
yang telah menjadi milik kita diambil orang lain, kita harus merebut
kembali hak itu bagaimanapun caranya. Waktu itu aku hampir termakan kata-kata
Yu Darminah. Aku selalu mencari informasi tentang Ratmini dan Mas Jarwo
tinggal. Kalau tahu alamatnya aku akan
melabrak dia dan menyeret Ratmini ke kantor polisi.
Namun, aku urungkan.
Aku dipenggak ibu. Prinsip Yudarminah
memang jauh berbeda dengan prinsip yang ditekankan ibuku. Ibu menolak keras
sikapku yang akan melabrak Ratmini. Walau ibu, orang yang pertama kali menolak
perkawinanku dengan Mas Jarwo. Beliau mengajarkan prinsip menjadi wanito utomo. Wanito utomo adalah
seorang wanita harus bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Menjadi istri yang
baik itu melaksanakan kwajiban sebagai istri, patuh dan tuhu pada suami juga
selalu punya jiwa melayani. Sebagai istri harus tetap mengabdi pada suami.
Seorang wanita harus jadi ibu untuk anak-anaknya. Predikat ibu tidak hanya
status orang tua dan melahirkan saja. Tetapi lebih dari itu.
Kemudian aku lebih
memilih sikap seperti ibu. Memang, banyak orang menganggapku terlalu baik atas sebuah prinsip yang selama ini aku
pegang teguh. Yakni, aku akan menjadi
istri yang setia meskipun suamiku telah mengkhianati. Siang malam aku lantunkan
doa. Aku selalu berharap Mas Jarwo sadar.
Dia mampu membawa bahtera rumah tangga menuju pulau impian. Mewujudkan
kebahagiaan yang dijanjikan sebelum mengikat tali pernikahan. Namun, kebahagiaan
yang ditawarkan Mas Jarwo 8 tahun yang lalu kini di ujung senja. Petang sudah
membayang. Harapan itu akan tenggelam ditelan malam. Perahu rumah tanggaku akan
tenggelam di malam yang pekat cahaya.
Karena, hari ini aku
akan meninggalkan rumah ini beserta kenangannya. Aku akan tinggal di rumah ibu
untuk membangun kembali harapanku yang kian rapuh. Senja ini, aku akan
meninggalkan rumah yang sudah menyatu dalam hidupku bertahun. Aku akan tinggal
di rumah yang mengisahkan kenangan masa kanakku bersama dua adikku. Di situlah
tempat yang tepat untuk membesarkan dua belahan jiwaku. Aku akan mencari
pekerjaan sambil menunggu keputusan
pengadilan agama atas gugatan cerai yang aku layangkan. Karena aku sudah
menunggu Mas Jarwa selama dua tahunan, namun dia tidak kunjung pulang. Tentu
dia memilih hidup bersama Ratmini dibanding aku dan kedua anaknya.
“Nduk! Kamu harus memikirkan kedua putrimu.
Mereka butuh pendidikan yang baik. Mereka berdua butuh kekuatan mental untuk
menyelam ke dalam samudra kehidupan yang lebih jauh. Kalau mereka di sini, aku
takut mental Amila dan Akila akan mengkerut gara-gara tingkah laku bapaknya,” kata ibu ketika menghampiri aku berkemas.
Ibu sepertinya melihat
keraguan pada diriku. Memang, keraguan yang ada dalam hati ini belum bisa aku
singkirkan. Aku akui, sangat berat meninggalkan rumah ini walau rumah ini
adalah rumah pemberian mertuaku, bukan hasil jerih payah aku dan Mas Jarwo.
Rasanya hidupku sudah menyatu dengan rumah yang aku tinggali selama enam
tahunan ini. Di sini, banyak liku perjuangan yang aku tumpahkan demi
menunjukkan kebahagiaan di depan bapak dan ibu. Aku tidak tega melihat tangis kedua
mertuaku. Dia begitu menyayangi aku dan kedua putriku. Demi aku dan kedua
putriku ayah mertuaku mengusir Mas Jarwo waktu itu.
“Savana, hidup ini
keras…! Kalau kamu berjuang sendiri di
sini ibu tidak tega. Kamu ini seorang wanita. Kamu tidak mampu mengurus dua
anakmu sendirian. Lebih-lebih di daerah terpencil seperti ini yang jauh dari
jangkauan. Untuk itu, tata hatimu. Mantapkan. Mari kita tinggal di Tlogowungu.
Biar ibu dan Bapak bisa ikut menjaga anak-anakmu dan juga ikut mengantarkan
mereka ke gerbang kesuksesan,” kata ibu lagi sebelum aku belum sempat menjawab
kata-kata beliau.
“Ya, Bu! Aku sudah ikhlas akan takdirku. Hari
ini aku sudah mantap untuk tinggal di Tlogowungu bersama ibu dan bapak!”
“Itu yang kami
inginkan Nduk! Di sana kami ikut menjaga Amila dan Akila.”
“Kita berangkat
setelah sholat Isya, ya Bu!”
Entah mengapa aku
ingin mengulur waktuku berangkat ke Tlogowungu. Padahal kemarin-kemarin hatiku
sudah mantap tinggal bersama ibu.
“Kenapa harus menunggu
Isya’ Nduk! Setelah sholat magrib kan bisa. Lebih cepat pergi dari sini kan
lebih baik! Mengapa harus menunggu Isya’? Kita berangkat habis sholat magrib,
ya?
Aku hanya mengangguk.
Kemudian aku berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah keraguanku semakin
tumbuh berkembang menyaksikan sengguk tangis kedua mertuaku. Di ruang tengah
juga ada Yu Darminah, Pak De Tamam,dan keluarga mertuaku yang lain. Mereka ke
sini karena ingin mengucapkan selamat jalan kepadaku. Mereka semua menyayangi
kami. Mereka menginginkan aku dan kedua putriku tetap tinggal di sini meskipun
Mas Jarwo tidak pernah kembali.
Aku berlari ke
kamar. Kulempar tubuhku ke kasur. Kuraih
bantal untuk menyumbal mulutku. Aku menangis sekeras-kerasnya.
“Mas, mengapa kamu
menggali lubang dalam bahtera rumah tangga kita sehingga bahtera itu hampir
tenggelam? Masihkah ada harapan kita
mendayung bersama dalam satu bahtera menuju pulau impian seperti yang pernah
kamu tawarkan kepadaku, di ujung senja di hutan kota? Mas Jarwo, tidak adakah
setetes rindumu yang mengalir di hatimu untuk memaksamu kembali ke rumah kita,
Mas!
Ada tangan lembut
mengelus rambutku. Aku berusaha menahan tangisku.
“ Nak, aku ikhlaskan engkau kembali ke
Tlogowungu. Aku titip kedua cucuku, ya! Aku berharap kamu jangan memutuskan
tali hubungan kita ya, Nak!”
Ternyata tangan itu
tangan ibu mertuaku. Aku usap air mataku. Aku bangkit dan merangkul ibu
mertuaku.
“Insyaallah tidak ,
Buk! Kami akan selalu berkunjung ke sini setiap ada waktu.”
Aku mantapkan hati
untuk meninggalkan rumah ini dan pergi dari kehidupan Mas Jarwo. Aku akan
menggugat cerai. Mas Jarwo bukanlah seorang imam yang baik. Karena sejak berumah tangga sampai punya anak
dua Mas Jarwo tidak pernah mengerti tanggung jawab sebagia suami atau bapak
dari anak-anaknya. Pekerjaannya keluyuran dengan lelaki pengangguran. Pulang
malam dalam keadaan sempoyongan. Mabuk di jalan sudah langganan. Dia selalu
membuat malu keluarga.
Selama berumah tangga
setetas kebahagiaan tidak pernah aku dapatkan
dari lautan kebahagiaan yang ditawarkan Mas Jarwo sebelum pernikahan.
Masalah terus mengalir bagai air sungai di musim penghujan. Dua setengah tahun yang
lalu, Mas Jarwo ditangkap polisi karena mengangkut jati illegal bersama
empat temannya, Darmin, Manto, Heru dan Danang. Sehingga Mereka berlima harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mas Jarwo dan teman-temannya harus
mendekam di penjara Blora selama enam bulan.
Waktu itu setiap satu minggu sekali, aku harus mondar mandir ke penjara
Blora untuk mengantar kiriman. Kiriman uang, pakaian bahkan pulsa. Selama itu
juga aku harus bekerja mencari uang untuk menopang ekonomi keluarga. Aku juga
menjadi ibu dan juga bapak untuk kedua anakku.
Satu bulan setelah
keluar dari penjara, Mas Jarwo ulah lagi. Dia diarak ke balai desa dengan badan
telanjang. Dia diarak warga sekampung karena ketangkap basah berselingkuh
dengan Ratmini. Mereka digropyok
warga di belakang warung kopi wanita ganjeng itu saat mereka berdua menyalurkan
hasrat nafsu binatangnya tanpa ada pertimbangan dosa dan larangan agama. Untung
waktu itu, aku dan kedua anakku sedang tidak ada di rumah. Aku dan kedua putriku menginap di rumah ibu di
Tlogowungu.
“Buk, sudah adzan
magrib. Saya mau mengambil air wudhu dulu. Saya akan sholat magrib dulu agar
hatiku tenang. Karena sejak tadi hatiku berdebar-debar.” kataku kepada ibu
mertuaku.
Kemudian aku berjalan
ke belakang menuju dapur mengambil air wudhu. Lalu mengerjakan sholat magrib
tiga rakaat. Setelah sholat magrib kutumpahkan keluh kesahku kepada yang punya
hidup.
“Ya Allah… aku ikhlas
akan takdirku. Berilah hambamu kekuatan untuk menjalani semua kehendakmu.
Ampuni hamba yang kadang goyah dalam uji-Mu. Alirkan Ridho pada hamba dan anak cucu. Bimbinglah hamba
dalam setiap jengkal langkah. Ampuni dosa-dosa hamba di setiap hembusan napas.
”
Kujalankan tasbihku
sampai jauh masuk ke relung hatiku yang teramat dalam. Lafal Ya Allah, Ya
Rohman, Ya Rohim kuhembuskan ke seluruh tubuh. Kusalurkan ke setiap helai bulu,
rambut, kulit, urat, darah dan dagingku.
Memupuk mahabbahku agar sifat Rohman dan Rohim-Nya mengalir dan hinggap
di tubuh dan jiwa. Mengoyak dan memuntahkan rasa benci dan dengki yang lama
bersarang dalam segumpal darah yang ada dalam dada.
Kumasuki dunia kedamain yang jauh… Sukmaku
melayang-layang membumbung jauh ke angkasa. Menghalau kenyataan hidup yang kian
lama memberat. Melupakan pil pahit
kehidupan yang aku telan selama bertahun. Membuang kebencian kepada seorang
lelaki yang tidak bertanggung jawab kepada anak istri. Memuntahkan dengki dan
dendam kepada seorang wanita yang telah nyata merebut suami orang. Memaafkan
manusia-manusia yang telah bersikap sewenang-wenang. Aku memohon petunjuk
kepada Tuhan Ilahi Robbi, Tuhannya semua makhluk di alam ini agar aku dapat
menapaki hidup di dunia yang penuh persaingan.
Walau aku hanya
seorang wanita, aku akan bekerja sekuat tenaga lelaki. Sebagai ibu, aku akan
melakukan terbaik untuk kedua putriku. Biarlah Mas Jarwo hidup dengan Ratmini.
Sedangkan, aku akan hidup dengan kedua
putriku. Mereka akan aku jauhkan dari kehidupan Mas Jarwo. Orang yang selalu
makan hatiku dan mencoreng kening keluarga. Dua tahun sudah aku membuka diri
untuk Mas Jarwo. Namun, dia tak kunjung kembali. Sudah tiba saatnya aku
bangkit.
“Ayah….!”
“Hore…., ayah pulang!”
“Ayah pulang!”
Aku tersentak kaget.
Aku mendengar teriakan Amila dan Akila. Apa Mas Jarwo pulang? Aku semakin tak
menentu. Jantungku berdebar-debar. Rasa bahagia menyelimuti dada. Ada
pengharapan dalam hidup ini. Kulepas mukena. Aku akan melihat ada apa
sebenarnya. Tetapi aku dikejutkan sosok seorang lelaki yang aku kenal dan
selama ini aku rindukan, berdiri di depan pintu.
“Mas Jarwo!” teriakku
dalam hati.
Mas Jarwo berjalan
mendekatiku. Langkahnya tampak memberat dan ragu-ragu. Mungkin dia memikul
beban kesalahan yang menumpuk di pundaknya.
“Dik Ana, maafkan Mas
ya!”
Aku diam. Aku tidak
tahu harus bilang apa. Sebetulnya hati ini bahagia Mas Jarwo pulang ke rumah. Penantianku
tidak sia-sia. Mungkin ini yang menyebabkan hati ini tidak karuan sejak sore
tadi.
“Dek, maafkan
kesalahan dan kekhilafan Mas ya! Aku telah salah! Aku telah khilaf. Aku janji
tidak akan mengulangi. Aku janji wanita yang aku cintai hanya kamu.
Aku masih diam.
Sebetulnya aku ingin menerima dia kembali. Kangenku telah membuncah. Ingin aku
memeluk suamiku. Namun, aku kembalikan untung dan ruginya jika bersama lagi Mas
Jarwo. Dia mengatakan insyaf bisa saja lahirnya. Tetapi, batinnya tidak.
“Mas pasti tahu
perasaanku. Karena ungkapan perasaanku ke kamu selalu aku buat status
facebookku. Aku akui aku mencintaimu, Mas! Tetapi yang aku pikirkan sekarang
ini bukan hanya cinta. Tetapi masa depan kita dan kedua anak kita. Sudah aku
putuskan dengan sangat matang aku ingin pisah dengan Mas Jarwo. Jan ji-janji
Mas Jarwo waktu pacaran tidak pernah terwujudkan. Pikiranku sudah lelah, Mas!
Aku tidak bisa menerima kamu sekarang ini. Entah suatu hari nanti. Karena hati
ini sudah terlanjur hancur berkeping.”
..........
(Bersambung)
Label: Cerpen
1 Komentar:
Caesars Casino: Casino Games | Get Your $50 FREE Bonus
Caesars Casino has 가입 머니 주는 사이트 over a decade of experience 해외배당흐름 in 라이브스코어 the entertainment industry. 프라하 사이트 Here 888스포츠 at Caesars Casino, we're dedicated to providing players with the
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda