Harapan di Ujung Senja 
cerpen: Pak Guru Top

Gema takbir dan bunyi beduk yang  aku takuti mengiris kalbu dua tahun yang lalu, kini mampu menopangku dalam pergantian waktu. Ketegaran membuahkan energi membungkus jiwaku yang erat. Walau hati hancur berkeping. Aku  mencoba tetap tegar menjalani hidup ini. Aku  anggap kejadian selama ini merupakan cobaan dan ujian dari Allah yang harus dihadapi dan diselesaikan. Entah berapa bulan atau berapa tahun aku harus hidup seperti ini. Selagi aku masih diberi hidup aku akan tetap hadapi cobaan-cobaan ini. Aku tetap berharap jalan itu pasti ada.  Aku yakin pada Tuhan. Setiap tetes keringat yang aku peras pasti ada perhitungan.Tuhan pasti mengganti pengorbananku seperti Tuhan mengganti pengorbanan Nabi Ibrahim yang menyembelih putranya, Ismail dengan kambing dari surga.   
Jika aku tidak dihadang tanggung jawab kedua putriku, pastinya senja ini merupakan senja pendak pindho hari  kematianku. Dua tahun yang lalu aku jatuh terpuruk dalam pangkuan derita yang berliku seperti  tangga yang membelit tanah merah. Dimana waktu  gema takbir mengiringi jeritan batinku. Kala itu gemuruh lantunan kebesaran Ilahi Robbi bebarengan raungan tangisku. Mas Jarwo secara gamblang menantangku untuk hengkang dari rumah ini. Jika aku tidak berkenan, dia yang minggat dari rumah dengan membawa Ratmini pergi. Waktu itu rasa maluku membuat aku jauh dari harapan hidup. Malu pada tetangga dan sanak saudara. Lebih-lebih malu kepada ibu dan bapak yang telah bersikukuh menolak perkawinanku dengan lelaki yang aku pilih menjadi imam.
 “Piye,  Nduk ! Benar to kandane wong tuwo to. Orang tua itu punya mata batin yang kuat. Orang tua bersikap untuk kebaikan anaknya. Tidak ada orang tua yang mau melihat anaknya sengsara. Kita itu harus melihat orang dengan hati tidak hanya dengan mata dhohir saja. Melihat orang, jangan hanya lihat bungkusnya saja, tetapi juga lihat kedalaman hatinya. Ketampanan dan kekayaan tak akan menjamin kebahagiaan. Orang tua itu punya firasat dan mata batin yang kuat yang tidak dimiliki oleh anaknya.”
Itulah kata-kata ibu kala mendengar Mas Jarwo minggat bersama Ratmini. Seandainya perkawinanku dengan Mas Jarwo adalah kehendak orang tuaku, pasti sejak dulu aku sudah kabur dari rumah ini dengan membawa kedua anakku. Aku tak peduli bapaknya di mana rimbanya. Biarlah aku yang mencetak hidup mereka. Insyaallah aku sanggup untuk membesarkan kedua putriku dengan tanganku. Aku juga pasti sanggup membiayai pendidikan mereka dengan kerja kerasku. Karena selama hidup dengan Mas Jarwo akulah yang menghidupi keluarga.
Akan tetapi, perkawinanku dengan Mas Jarwo karena pilihanku sendiri. Dulu, telingaku tuli akan nasihat orang tua. Aku ngotot menikah dengan Mas Jarwo di hadapan ayah dan ibu.  Aku memperjuangkan Mas Jarwo dengan berbagai cara agar diterima mereka. Lebih-lebih di hadapan ibu, karena ibulah orang yang menentang keras aku menikah dengan anak pemilik kebun tebu itu. Namun, kini perjuangan dan pengorbananku tertumpah sia-sia. Lelaki sebagai tempat aku berteduh, melepas tanggung jawabnya. Memutus benang suci perkawinan tanpa ada bukti pengadilan dengan membawa kabur Ratmini, tetanggaku.
Ketegaranku pulih karena Yu Darminah. Tiap hari dia membangun kembali jiwaku yang semakin rapuh. Tidak hanya ketika jagong saja. Saat  bekerja mulut Yu Darminah tidak pernah diam. Kebetulan kami bekerja satu perusahaan di perusahaan meubel milik Wak Karto, tetangga desa.
“Ratmini kwi wong kenther…, ra sah bok rasakno! Yang penting kamu kerja untuk kebutuhanmu dan kedua anakmu! Yem-yem atimu! Kalau kamu sakit kasihan anak-anakmu. Mereka juga ikut sakit!”
Nggeh, Yu!” jawabku.
Yu Darminah orangnya keras. Bicaranya ceplas-ceplos. Kalau orang hanya mendengar suaranya saja, mengira kalau Yu Darminah ini orangnya tinggi dan besar. Itu salah. Suara Yu Darminah tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya. Orangnya pendek. Tingginya hanya sebahuku. Kalau orang-orang menyebut dia, manusia setengah batu. Namun, hatinya baik. Dia berkata jujur dan apa adanya.  
Sampai sekarang, kuping Yu Darminah akan memerah jika mendengar nama Ratmini. Karena Kang Kartono, suaminya pernah digoda perempuan ganjeng yang di tinggal lelakinya merantau di Arab Saudi itu. Bahkan Ratmini pernah dilabrak Yu Darminah. Pertengkaran adu mulut pun terjadi karena merasa benar. Setelah adu mulut dilanjutkan saling menjegal. Lalu dilanjutkan jambak-menjambak rambut. Untung Pak Bayan datang memisah perkelahian mereka. Kalau tidak pasti baik Yu Darminah maupun Ratmini babak belur. Soalnya orang-orang yang berkerumun di tempat kejadian tidak berani melerai perkelahian mereka. Orang-orang yang melihat kejadian secara langsung hanya menonton.
“Menikmati tontonan geratis!” kata mereka.
“Savana, kamu harus rebut suami kamu! Dia adalah suami kamu yang sah! Seret Ratmini ke kantor polisi! Kamu jangan hanya diam saja. Hak kita harus kita rebut kembali. Kita jangan mau diinjak-injak orang lain!”
Itulah  prinsip yang selalu didengungkan kepadaku oleh Yu Darminah bahwa kita jangan pernah mau dipermainkan orang lain. Harga diri kita jangan sampai diinjak-injak. Hak  yang telah menjadi milik kita diambil orang lain, kita harus merebut kembali hak itu bagaimanapun caranya. Waktu itu aku hampir termakan kata-kata Yu Darminah. Aku selalu mencari informasi tentang Ratmini dan Mas Jarwo tinggal. Kalau  tahu alamatnya aku akan melabrak dia dan menyeret Ratmini ke kantor polisi.
Namun, aku urungkan. Aku dipenggak ibu. Prinsip Yudarminah memang jauh berbeda dengan prinsip yang ditekankan ibuku. Ibu menolak keras sikapku yang akan melabrak Ratmini. Walau ibu, orang yang pertama kali menolak perkawinanku dengan Mas Jarwo. Beliau mengajarkan prinsip menjadi wanito utomo. Wanito utomo adalah seorang wanita harus bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Menjadi istri yang baik itu melaksanakan kwajiban sebagai istri, patuh dan tuhu pada suami juga selalu punya jiwa melayani. Sebagai istri harus tetap mengabdi pada suami. Seorang wanita harus jadi ibu untuk anak-anaknya. Predikat ibu tidak hanya status orang tua dan melahirkan saja. Tetapi lebih dari itu.
Kemudian aku lebih memilih sikap seperti ibu. Memang, banyak orang menganggapku terlalu baik  atas sebuah prinsip yang selama ini aku pegang teguh.  Yakni, aku akan menjadi istri yang setia meskipun suamiku telah mengkhianati. Siang malam aku lantunkan doa.  Aku selalu berharap Mas Jarwo sadar. Dia mampu membawa bahtera rumah tangga menuju pulau impian. Mewujudkan kebahagiaan yang dijanjikan sebelum mengikat tali pernikahan. Namun, kebahagiaan yang ditawarkan Mas Jarwo 8 tahun yang lalu kini di ujung senja. Petang sudah membayang. Harapan itu akan tenggelam ditelan malam. Perahu rumah tanggaku akan tenggelam di malam yang pekat cahaya.
Karena, hari ini aku akan meninggalkan rumah ini beserta kenangannya. Aku akan tinggal di rumah ibu untuk membangun kembali harapanku yang kian rapuh. Senja ini, aku akan meninggalkan rumah yang sudah menyatu dalam hidupku bertahun. Aku akan tinggal di rumah yang mengisahkan kenangan masa kanakku bersama dua adikku. Di situlah tempat yang tepat untuk membesarkan dua belahan jiwaku. Aku akan mencari pekerjaan sambil menunggu keputusan  pengadilan agama atas gugatan cerai yang aku layangkan. Karena aku sudah menunggu Mas Jarwa selama dua tahunan, namun dia tidak kunjung pulang. Tentu dia memilih hidup bersama Ratmini dibanding aku dan kedua anaknya.
 “Nduk! Kamu harus memikirkan kedua putrimu. Mereka butuh pendidikan yang baik. Mereka berdua butuh kekuatan mental untuk menyelam ke dalam samudra kehidupan yang lebih jauh. Kalau mereka di sini, aku takut mental Amila dan Akila akan mengkerut gara-gara tingkah laku bapaknya,”  kata ibu ketika menghampiri aku berkemas.
Ibu sepertinya melihat keraguan pada diriku. Memang, keraguan yang ada dalam hati ini belum bisa aku singkirkan. Aku akui, sangat berat meninggalkan rumah ini walau rumah ini adalah rumah pemberian mertuaku, bukan hasil jerih payah aku dan Mas Jarwo. Rasanya hidupku sudah menyatu dengan rumah yang aku tinggali selama enam tahunan ini. Di sini, banyak liku perjuangan yang aku tumpahkan demi menunjukkan kebahagiaan di depan bapak dan  ibu. Aku tidak tega melihat tangis kedua mertuaku. Dia begitu menyayangi aku dan kedua putriku. Demi aku dan kedua putriku ayah mertuaku mengusir Mas Jarwo waktu itu.
“Savana, hidup ini keras…!  Kalau kamu berjuang sendiri di sini ibu tidak tega. Kamu ini seorang wanita. Kamu tidak mampu mengurus dua anakmu sendirian. Lebih-lebih di daerah terpencil seperti ini yang jauh dari jangkauan. Untuk itu, tata hatimu. Mantapkan. Mari kita tinggal di Tlogowungu. Biar ibu dan Bapak bisa ikut menjaga anak-anakmu dan juga ikut mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan,” kata ibu lagi sebelum aku belum sempat menjawab kata-kata beliau.
 “Ya, Bu! Aku sudah ikhlas akan takdirku. Hari ini aku sudah mantap untuk tinggal di Tlogowungu bersama ibu dan bapak!”
“Itu yang kami inginkan Nduk! Di sana kami ikut menjaga Amila dan Akila.”
“Kita berangkat setelah sholat Isya, ya Bu!”
Entah mengapa aku ingin mengulur waktuku berangkat ke Tlogowungu. Padahal kemarin-kemarin hatiku sudah mantap tinggal bersama ibu.
“Kenapa harus menunggu Isya’ Nduk! Setelah sholat magrib kan bisa. Lebih cepat pergi dari sini kan lebih baik! Mengapa harus menunggu Isya’? Kita berangkat habis sholat magrib, ya?
Aku hanya mengangguk. Kemudian aku berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah keraguanku semakin tumbuh berkembang menyaksikan sengguk tangis kedua mertuaku. Di ruang tengah juga ada Yu Darminah, Pak De Tamam,dan keluarga mertuaku yang lain. Mereka ke sini karena ingin mengucapkan selamat jalan kepadaku. Mereka semua menyayangi kami. Mereka menginginkan aku dan kedua putriku tetap tinggal di sini meskipun Mas Jarwo tidak pernah kembali.
Aku berlari ke kamar.  Kulempar tubuhku ke kasur. Kuraih bantal untuk menyumbal mulutku. Aku menangis sekeras-kerasnya.
“Mas, mengapa kamu menggali lubang dalam bahtera rumah tangga kita sehingga bahtera itu hampir tenggelam? Masihkah ada harapan  kita mendayung bersama dalam satu bahtera menuju pulau impian seperti yang pernah kamu tawarkan kepadaku, di ujung senja di hutan kota? Mas Jarwo, tidak adakah setetes rindumu yang mengalir di hatimu untuk memaksamu kembali ke rumah kita, Mas!
Ada tangan lembut mengelus rambutku. Aku berusaha menahan tangisku.
 “ Nak, aku ikhlaskan engkau kembali ke Tlogowungu. Aku titip kedua cucuku, ya! Aku berharap kamu jangan memutuskan tali hubungan kita ya, Nak!”
Ternyata tangan itu tangan ibu mertuaku. Aku usap air mataku. Aku bangkit dan merangkul ibu mertuaku.
“Insyaallah tidak , Buk! Kami akan selalu berkunjung ke sini setiap ada waktu.”
Aku mantapkan hati untuk meninggalkan rumah ini dan pergi dari kehidupan Mas Jarwo. Aku akan menggugat cerai. Mas Jarwo bukanlah seorang imam yang baik.  Karena sejak berumah tangga sampai punya anak dua Mas Jarwo tidak pernah mengerti tanggung jawab sebagia suami atau bapak dari anak-anaknya. Pekerjaannya keluyuran dengan lelaki pengangguran. Pulang malam dalam keadaan sempoyongan. Mabuk di jalan sudah langganan. Dia selalu membuat malu keluarga.
Selama berumah tangga setetas kebahagiaan tidak pernah aku dapatkan  dari lautan kebahagiaan yang ditawarkan Mas Jarwo sebelum pernikahan. Masalah terus mengalir bagai air sungai di musim penghujan. Dua setengah tahun  yang  lalu, Mas Jarwo ditangkap polisi karena mengangkut jati illegal bersama empat temannya, Darmin, Manto, Heru dan Danang. Sehingga Mereka berlima harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mas Jarwo dan teman-temannya harus mendekam di penjara Blora selama enam bulan.  Waktu itu setiap satu minggu sekali, aku harus mondar mandir ke penjara Blora untuk mengantar kiriman. Kiriman uang, pakaian bahkan pulsa. Selama itu juga aku harus bekerja mencari uang untuk menopang ekonomi keluarga. Aku juga menjadi ibu dan juga bapak untuk kedua anakku.
Satu bulan setelah keluar dari penjara, Mas Jarwo ulah lagi. Dia diarak ke balai desa dengan badan telanjang. Dia diarak warga sekampung karena ketangkap basah berselingkuh dengan Ratmini. Mereka digropyok warga di belakang warung kopi wanita ganjeng itu saat mereka berdua menyalurkan hasrat nafsu binatangnya tanpa ada pertimbangan dosa dan larangan agama. Untung waktu itu, aku dan kedua anakku sedang tidak ada di rumah. Aku  dan kedua putriku menginap di rumah ibu di Tlogowungu.
“Buk, sudah adzan magrib. Saya mau mengambil air wudhu dulu. Saya akan sholat magrib dulu agar hatiku tenang. Karena sejak tadi hatiku berdebar-debar.” kataku kepada ibu mertuaku.
Kemudian aku berjalan ke belakang menuju dapur mengambil air wudhu. Lalu mengerjakan sholat magrib tiga rakaat. Setelah sholat magrib kutumpahkan keluh kesahku kepada yang punya hidup.
“Ya Allah… aku ikhlas akan takdirku. Berilah hambamu kekuatan untuk menjalani semua kehendakmu. Ampuni hamba yang kadang goyah dalam uji-Mu. Alirkan Ridho  pada hamba dan anak cucu. Bimbinglah hamba dalam setiap jengkal langkah. Ampuni dosa-dosa hamba di setiap hembusan napas. ”
Kujalankan tasbihku sampai jauh masuk ke relung hatiku yang teramat dalam. Lafal Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rohim kuhembuskan ke seluruh tubuh. Kusalurkan ke setiap helai bulu, rambut, kulit, urat, darah dan dagingku.  Memupuk mahabbahku agar sifat Rohman dan Rohim-Nya mengalir dan hinggap di tubuh dan jiwa. Mengoyak dan memuntahkan rasa benci dan dengki yang lama bersarang dalam segumpal darah yang ada dalam dada.
Kumasuki  dunia kedamain yang jauh… Sukmaku melayang-layang membumbung jauh ke angkasa. Menghalau kenyataan hidup yang kian lama memberat. Melupakan pil  pahit kehidupan yang aku telan selama bertahun. Membuang kebencian kepada seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab kepada anak istri. Memuntahkan dengki dan dendam kepada seorang wanita yang telah nyata merebut suami orang. Memaafkan manusia-manusia yang telah bersikap sewenang-wenang. Aku memohon petunjuk kepada Tuhan Ilahi Robbi, Tuhannya semua makhluk di alam ini agar aku dapat menapaki hidup di dunia yang penuh persaingan.  
Walau aku hanya seorang wanita, aku akan bekerja sekuat tenaga lelaki. Sebagai ibu, aku akan melakukan terbaik untuk kedua putriku. Biarlah Mas Jarwo hidup dengan Ratmini. Sedangkan,  aku akan hidup dengan kedua putriku. Mereka akan aku jauhkan dari kehidupan Mas Jarwo. Orang yang selalu makan hatiku dan mencoreng kening keluarga. Dua tahun sudah aku membuka diri untuk Mas Jarwo. Namun, dia tak kunjung kembali. Sudah tiba saatnya aku bangkit.
“Ayah….!”
“Hore…., ayah pulang!”
“Ayah pulang!”
Aku tersentak kaget. Aku mendengar teriakan Amila dan Akila. Apa Mas Jarwo pulang? Aku semakin tak menentu. Jantungku berdebar-debar. Rasa bahagia menyelimuti dada. Ada pengharapan dalam hidup ini. Kulepas mukena. Aku akan melihat ada apa sebenarnya. Tetapi aku dikejutkan sosok seorang lelaki yang aku kenal dan selama ini aku rindukan, berdiri di depan pintu.
“Mas Jarwo!” teriakku dalam hati.
Mas Jarwo berjalan mendekatiku. Langkahnya tampak memberat dan ragu-ragu. Mungkin dia memikul beban kesalahan yang menumpuk di pundaknya.
“Dik Ana, maafkan Mas ya!”
Aku diam. Aku tidak tahu harus bilang apa. Sebetulnya hati ini bahagia Mas Jarwo pulang ke rumah. Penantianku tidak sia-sia. Mungkin ini yang menyebabkan hati ini tidak karuan sejak sore tadi.
“Dek, maafkan kesalahan dan kekhilafan Mas ya! Aku telah salah! Aku telah khilaf. Aku janji tidak akan mengulangi. Aku janji wanita yang aku cintai hanya kamu.
Aku masih diam. Sebetulnya aku ingin menerima dia kembali. Kangenku telah membuncah. Ingin aku memeluk suamiku. Namun, aku kembalikan untung dan ruginya jika bersama lagi Mas Jarwo. Dia mengatakan insyaf bisa saja lahirnya. Tetapi, batinnya tidak.
“Mas pasti tahu perasaanku. Karena ungkapan perasaanku ke kamu selalu aku buat status facebookku. Aku akui aku mencintaimu, Mas! Tetapi yang aku pikirkan sekarang ini bukan hanya cinta. Tetapi masa depan kita dan kedua anak kita. Sudah aku putuskan dengan sangat matang aku ingin pisah dengan Mas Jarwo. Jan ji-janji Mas Jarwo waktu pacaran tidak pernah terwujudkan. Pikiranku sudah lelah, Mas! Aku tidak bisa menerima kamu sekarang ini. Entah suatu hari nanti. Karena hati ini sudah terlanjur hancur berkeping.”
..........
(Bersambung)
 



Posting Komentar

  1. Caesars Casino: Casino Games | Get Your $50 FREE Bonus
    Caesars Casino has 가입 머니 주는 사이트 over a decade of experience 해외배당흐름 in 라이브스코어 the entertainment industry. 프라하 사이트 Here 888스포츠 at Caesars Casino, we're dedicated to providing players with the

    BalasHapus

 
Top