KESETIAAN BUKANLAH JANJI 1
Kesetiaan Bukanlah Janji
1
Dingin malam mulai
merayap ke seluruh tubuh. Menggumpal di
dada, Tajam mengiris relung hatiku. Kokok Si Jalu, ayam jantan milik Kak Lutfi
disambut beberapa kokok ayam tetangga yang lain semakin mendebarkanku.
Malam beberapa jam lagi akan digantikan
pagi. Perasaanku semakin dikuasai rasa
cemas dan takut. Aku semakin takut berjumpa dengan pagi. Aku takut meninggalkan
kota ini. Aku takut berpisah dengan ayah, ibu, dan adikku Andika. Aku takut
meninggalkan semuanya.
Entah kenapa perasaan
takut dan gelisah yang berkali kuusir selalu kembali lagi hinggap di hati ini.
Mengacak-ngacak batin dan perasaan. Mungkin, karena aku belum pernah pergi jauh
dari orang-orang yang aku sayangi. Orang-orang yang selama ini mampu membuat aku mengerti tentang hidup.
Mengenal kasih sayang. Sehingga, aku tak ingin berpisah jauh dari mereka. Kalau
aku berani mengatakan kepada Ayah, lebih baik aku memilih belajar dan ngaji di
daerah sini saja, di daerah Pati dari pada harus ngaji dan mondok di Jawa
Timur. Bahkan kalau perlu tidak usah
mondok sekalian. Tapi, aku tidak berani.
Aku tidak punya nyali berhadapan dengan ayah. Aku tidak ingin menjadi anak yang
tidak berbakti. Walau aku berat hati aku tetap memenuhi keinginan Ayah dan ibu.
Aku ingin mewujudkan harapan mereka.
Pukul 09.00 pagi nanti jadwal keberangkatanku pergi
mondok. Sebetulnya, aku berangkat pergi mondok dua hari yang lalu. Tetapi,
dengan banyak pertimbangan Ayah memilih hari ini. Saat ayah memberi tahu kalau
keberangkatanku ditunda dua hari lagi, aku bersorak kegirangan. Sikapku kayak anak kecil yang melihat ibunya pulang
dari pasar membawa jajanan. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, mengapa aku
bersorak kegirangan, yang jelas ada rasa bahagia dalam dada.
“Baru bangun atau
semalaman belum tidut, Nun…?” suara ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku..
“Eh, ibu! Anu, eh anu baru
bangun, Bu!” jawabku gugup
Aku terpaksa berbohong
kalau aku baru bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Padahal semalaman aku
tidak tidur.
“Baru bangun atau tidak
tidar semalaman?”
“Ya Bu, aku tidak bisa
tidur?”
“Kalau kamu tidak tidur
kasihan ragamu. Tubuh kita butuh istirahat. Apa yang kamu pikirkan Nduk,
sehingga kamu tidak bisa tidur semalan?” Tanya ibu sambil mengelus pundak
kiriku.
“Semuanya, Bu!”
“Tata hatimu ya, Nduk!
Semua ini demi masa depanmu. Ayah dan ibu tidak menjurumuskanmu. Ayah ibu tidak
bermaksud menyengsarakan kamu. Ini kan demi kebaikanmu, Nduk! Mumpung masih
muda gunakan waktu untuk menuntut ilmu.
“Tapi saya ragu, Bu!”
“Keraguan itu selalu
ada. Ibu juga bersedih jauh dari kamu. Ibu juga ingin kamu bersama ibu. Kalau
ibu menuruti ego, yang kasihan itu kamu. Karena semua ini menyangkut masa depan
kamu. Dulu ibu kepingin sekali mondok atau kuliah. Tetapi tidak dibolehkan Eyangmu.
Kalau kamu bisa membaca kitab dan hafal Alquran yang untung kan kamu, Nak”
“Geh Bu, tapi Hanun
takut, Bu?”
“Kamu takut apa? Di
sana temanmu banyak. Ada Pak yai dan Bu Nyai!”
“Aku takut tidak sesuai
yang diharapkan Ibu dan Bapak! Aku juga takut kalau aku tidak betah, Bu!”
“Nduk, jangan bilang
begitu dan jangan berpikiran seperti itu. Orang mondok itu harus ikhlas. Seorang ibu tidak mengiinginkan jauh dari anak-anaknya, tapi ibu ikhlas
melepasmu jauh dari kami karena demi masa depanmu. Kami semua sayang kamu.
Karena sayang itulah kami mengirim kamu ke pondok agar kamu bertambah ilmu dan
dapat menghapal Alquran, seperti yang diimpikan Bapakmu!”
“Akan Hanun coba, Bu!”
“Dah ya, ibu mau
tahajud dulu. Pesan ibu jangan dipikir
terus. Hati kamu harus ikhlas. Baik-baik lah kamu nanti di sana. Tidak usah
mikir rumah. Tidak usah mikir kami di sini. tidak usah mikir macem-macem, ya!”
“Geh, Bu!”
Kemudian ibu melangkah pergi meninggalkan
kamarku. Hening kembali marayap. Sebetulnya, aku tidak ingin meninggalkan kota
ini bukan hanya harus jauh dari adikku atau kedua orang tuaku. Tetapi, ada
orang lain yang membuat aku tidak mampu jauh dengannya. Dia adalah Mas Syaiful.
Pemuda yang baru aku kenal sebulan yang lalu yang mampu menyemaikan benih rasa
cinta dan belas kasihku di dalam dada. Walau aku kenal dia baru sebulan, namun
aku merasa sudah pernah kenal Mas Iful
di kehidupan sebelumnya. Rasanya aku sudah lama mengenalnya.
Mas Syaiful adalah
seorang pemuda desa tetangga. Tetapi, selama ini aku belum pernah kenal dia.
Padahal dia bersekolah satu sekolah
dengan aku. Dia seangkatan dengan aku. Dia mantan kelas XII IPS 1, sedang aku
mantan kelas XII IPA 4. Bahkan Mas Syaiful satu kelas dengan Kak Lutfi anak
Pakde Wongso. Namun aku tidak pernah kenal dia. Mungkin, karena aku tidak
pernah keluar rumah selain sekolah. Aku
takut dengan ayah. Aku tidak pernah jalan-jalan seperti teman-temanku,
pergi ke warnet, pergi ke Luwes , ke Gunung Rowo, ke Muria dan lain-lain. Kalau
aku jalan-jalan hanya bersama dengan
keluarga saja.
Kisahku kenal dengan
Mas Iful ( panggilan untuk Mas Syaiful)
ketika aku bermalam di rumah Pak
Thoriq. Waktu itu, aku ke rumah Pak Thoriq karena diajak Annisa, dan Tisna.
Mereka berdua adalah teman sekelasku. Mereka pergi ke rumah Pak Thoriq ingin
dolan ke rumah adik kelas kami, Bintang,
anak Pak Thoriq. Bintang adalah teman satu kamar di pondok dengan Annisa dan
Tisna. Ketika itu, Ayah memperbolehkan aku bermalam di rumah Bintang karena
keluarga Pak Thoriq sudah dianggap sebagai saudara oleh Ayah. Ayah dan ibuku
mengenal baik dengan keluarga Pak Thoriq. Pak Thoriq, istri dan kelurganya sudah pernah berkunjung ke rumah
kami.
Awal bertemu dengan Mas
Iful, biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Belum ada cinta pada pandangan
pertama. Tidak ada yang aneh dalam diriku. Kulihat juga tidak ada yang aneh
dengan diri Mas Iful. Aku menganggapnya wajar-wajar saja. Saat perbincangan di
rumah Pak Thoriq. Berkali pandang kita bertemu, aku tidak merasakan keganjilan
dalam jiwa. Mas Iful juga kelihatan wajar saja. Tatapan matanya yang mengarah
padaku tidak menyiratkan makna.
Perasaan aneh yang aku
rasakan muncul sewaktu perjalanan pulang dari rumah Pak Thorik. Waktu Mas Iful,
Kak Lufti dan kawan-kawanya mengantar kami pulang. Saat aku diboncengkan Mas
Iful, ada keanehan dalam diriku. Ada hawa hangat yang menyalur ke seluruh
tubuh. Hawa hangat itu membuat hatiku diacak-acak, diaduk-aduk dengan perasaan yang tak tentu. Ada rasa
gelisah, kacau, berdebar tak tentu. Disamping itu, dalam jiwaku terselip rasa
aman, nyaman dan damai yang tak pernah aku rasakan bersama orang-orang yang
selama ini mengelilingi aku. Perasaan itu tak seperti perasaanku kepada ayah
dan ibuku. Perasaan itu juga tidak seperti perasaanku kepada adikku Andika dan
Mbak Aini, kakakku.
Apalagi saat di
pertigaan jalan, saat Mas Iful tiba-tiba menarik rem motornya karena ada orang
menyeberang secara tiba-tiba yang tidak tertangkap oleh pandangan Mas Iful.
Secara reflek tanganku meraih pinggang Mas iful dan mencengkeram kuat
pinggangnya. Jantungku bergetar keras. aku mulai merasa ada hal yang tidak
wajar dalam tubuhku. Ditambah lagi saat selayang pandang di depan rumah, saat
dia menurunkan aku. Walau masih remang, aku dapat menangkap senyumnya.
Setelah perkenalan di
rumah Pak Thoriq kejadian-kejadian aneh dalam tubuhku semakin berlanjut. Perasaan
aneh itu mencapai puncak pada saat berekreasi ke Jepara di Pantai Bandengan.
Mas Iful mulai mendekati aku ketika perjalanan pergi ke Pulau Panjang. Waktu
itu aku terkejut dia duduk di sebelahku.
“Dik, boleh aku duduk
di sini?”
Kata-katanya mendebarkan
jantungku. Aku tak mampu mengucapkan kata-kata. Aku hanya senyum-senyum saja
dan menganggukkan kepala. Kemudian Mas Syaiful duduk di sebelahku. Sebelum
duduk dia mendaratkan pandangannya ke arahku. Aku jadi grogi dan malu. Untuk
menutupi rasa malu dan tersipu, aku buang mukaku ke kiri, kupandangi ombak yang
mengguyur kapal kecil yang kami tumpangi, kapal jasa penyeberangan antara
Pantai Bandengan dengan Pulau panjang. Mas Saiful juga membuang mukanya ke kiri
pura-pura melihat aksi teman-teman yang lucu. Padahal aku tahu dia juga
tersipu.
“Ya…!” Ledek Kak Lutfi
kepada kami.
“Wah, cocok Ful!” kata
Marwan ganti meledek kami.
“Mana kameranya?
Mana-mana!” ledek Titik.
“Nih, kameranya!” kata
Icha.
Titik langsung merampas
kamera dari Icha. Kemudian ia menjebrat-jebret mengambil gambar kami. Aku dan
Mas Iful hanya senyum-senyum menyaksikan tingakah-laku teman-teman.
“Sek-sek, aku mau foto
bersama Mas Saiful dan Mbak Hanun! Ayo foto, Tik!” kata Kincup dengan
mendaratkan badannya di antara aku dan Mas Iful. “Ayo a, Tik dang
difoto!”
“Siap…!” kata titik
dengan mengarahkan kameranya kepada kami bertiga.
Kurang lebih seperempat
jam kami sudah sampai Pulau Panjang. Selama perjalanan kami hanya bungkam.
Entahlah, aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Mas Syaiful juga begitu.
Badanku dingin, menggigil bukan karena angin dan ombak, tapi aku tak tahan
menahan gejolak yang ada di dada. Perasaan meluap-luap tak tentu arahnya. Aku
tak punya kata-kata. Kalimat yang sudah aku rancang tak mampu aku keluarkan
dari mulutku. Tenggorokanku terasa tercekik. Sehingga kupilih diam.
Setelah sampai di Pulau
Panjang. Aku dan teman-teman mengelilingi pulau penuh misteri itu. Aku dan Mas
Iful tidak melakukan pembicaraan yang serius. Aku, Mas Iful dan teman-teman
hanya berjalan mengitari pulau kecil itu. Berfoto dan ketawa-ketawa kecil
melihat tingkah laku Kincup yang sok jago. Kincup kadang foto menendang,
melompat, menggunting dll. Tetapi, aku selalu dibuat tersipu Mas Iful. Kadang
dia menatap aku lama. Kadang mencari perhatianku. Kadang mencuri perhatian
dariku.
Setelah waktu yang
diberikan kepada kami oleh jasa penyeberangan kurang sepuluh menit. Tiba-tiba
Mas Iful memberi isyarat kepadaku untuk menjauh dari rombongan teman-teman. Aku
anggukkan kepala tanda persetujuan. Kemudian, dia mulai memisahkan diri dari
rombongan. Aku menyusul belakangan.
“Ehem…, ehem..! Ayo, arep
do lapo!” teriak Kincup ketika melihat kami memisahkan dari rombongan.
Seketika kami jadi
puasat perhatian teman-teman. Semua teman memandangiku dengan melempar seyum.
Aku hanya senyum-senyum saja.
“Sialan Kincup tidak
bisa diajak colongan,” batinku.
Kemudian aku melangkah
menyusul Mas Iful.Tepat, di bawah rimbun pepohanan dekat batu-batuan pinggir
pantai dia berhenti. Dia memandang ombak yang datang menggulung menghantam
batu-batu karang. Mas Iful menarik napas panjang. Lalu membalikkan tubuhnya.
Matanya menatap mataku dengan tajam dan dalam. Wajah Mas Ipul tampak kaku. mungkin
menahan grogi.
“Aku…!” katanya
terputus membuat aku semakin deg-degan.
membacakan sebuah
puisi. Apa kamu mau mendengarkan?”
“Mau!” kataku sambil
kuanggukkan kepalaku.
“Puisi ini kutulis
untuk mewakili jiwa dan batinku.”
Aku mengangguk lagi.
Kemudian Mas Saiful mengelurkan kertas dari sakunya. Sebelum membaca puisi, Mas
Ipul memetik kuncup bunga yang berada di sampingnya. Bunga itu diberikan
kepadaku. Sebagai tanda cintanya kepadaku. Aku semakin terharu. Kemudian dia
menarik napas tiga kali. Dia menerawang jauh ke angkasa. Perlahan dibacakan
perlarik puisinya.
Sukmamu
mendekat
Aku
terdekap
Matamu
menatap lekat
Aku
tersekat
Teringat
semilir angin fajar
saat
harum tubuhmu menusuk hening
Aku Menggigil
Lewat
senyum dan tatapan mata
satukan
jiwa
Belum
pernah terucap kata
Pintu
dan jendela terus terbuka
Janji
setia belum tercipta
gelora
jiwa terus ada
Rinduku
menggebu
menggunung
Menggantung
Kau
kaisi
kau
habisi
gelora
hidup
Tanpamu
kuredup
Satu
malam membuah erat
Batin
kian dalam tertancap
Kamu akan jadi milikku selamanya
Selamanya
Kamu akan jadi milikku
Perasaanku bertambah meluap-luap,
menggulung dan menggunung. Setiap kata yang diucapkan membuat aku melambung di
atas awan. Perasaanku berenang-renang di setiap untaian kata-katanya. Sangat
sempurna ucapan cintanya. Sangat menyentuh ucapan janji setianya. Walau ucapan
cintanya, walau janji setianya lewat puisinya. Akan kuikatkan hatiku pada
hatinya. Mas Syaiful juga menandaskan, janjinya tidak hanya diucapkan tetapi akan dibuktikan dengan membawa
rombangan arakan pengantin ke rumahku.
……….
Kamu akan jadi milikku selamanya
Dan
Selamanya Kamu akan jadi milikku
Dua baris terakhir
itulah yang masih aku ingat sampai saat ini dan akan aku simpan dalam lubuk
hati selama-lamanya. Dua baris terakhir itulah yang akan aku perjuangkan kelak
nanti dihadapan ayah dan ibu. Setelah kejadian di Pulau Panjang itu,
mengalirlah kata-kata cinta, janji-janji setia terucap tidak terkira. Selalu
muncul dan bertebaran bagai jamur di musim hujan. Kami WA nan, teleponan siang
dan malam.
Sehingga setiap detik, menit, jam, dan hari
aku semakin terbayang wajah Mas Iful. Perasaan rindu, ingin bertemu, ingin
memandang wajahnya dan mencurahkan beban hidup kepadanya semakin kuat. Imajinasiku
kadang keblabasan. Saat aku menghadiri pernikahan tetangga atau teman, ketika
kulihat mereka duduk di kursi pengantin, kubayangkan yang duduk di kursi adalah
aku dengan Mas Iful. Kadang juga, kulihat ada orang berboncengan di jalan, si
wanita memeluk erat suaminya, kubayangkan aku berboncengan dengan suamiku, Mas
Iful dengan ku peluk erat harum tubuhnya.
Kemarin siang aku janjian
bertemu Mas Iful sebentar di pojok desa.
Mas Syaiful memberi aku sebuah sarung kepadaku sebagai teman di pondok nanti
dan untuk menguatkan cintanya. Aku balas pemberiannya itu, dengan kuberikan
kaos kesukaanku kepadanya untuk meredam
rindunya. Setelah melakukan barter kami sepakat berpisah. Sebelum berpisah Kami
bertatap mata sejenak.
“Selamat mencari ilmu ya, Dik! Baik-baik di
sana ya!” katanya sebelum kita berpisah.
“Ya, Mas terima kasih!
Mas Saiful juga baik-baik ya kalau nanti kuliah di Salatiga!”
“Ya, Dik! Semoga
cita-cita dan keinginan kita tercapai!”
“Amin…!” kataku.
“Mumpung masih muda
mari kita cari ilmu sebanyak-banyaknya. Mari kita singsingkan lengan. Mari kita
seka kerinduan demi terwujudnya impian. Setelah itu baru kita membangun
mahligai rumah tangga. Aku janji, setelah lulus kuliah dan sudah mendapat
kerjaan aku akan datang menemui Bapakmu.
“Makasih ya Kak, atas janji
setiamu!. Sampai kapanpun aku akan pegang janjimu itu!”
“Sudah ya Dik, yuk kita
pulang kalau dilihat orang tidak enak. Nanti tersebar fitnah!”
“Heem…, Kang!”
“Assalamualaikum….!”
Katanya sambil berlalu.
“Waalaikum salam….!”
Jawabku.
Label: Cerpen