Kesetiaan Bukanlah Janji 2
Bayangmu terpahat dalam di dalam matahariku
Membuat hasratku kepadamu makin kuat
Tubuhku terbakar oleh api cintamu
Tak tersisa secuilpun raga dan jiwaku
Seluruh usia hidupku kukorbankan demi keindahanmu
Biarlah kau merekah sempurna dan tetap mekar
Walau aku telah layu dan bahkan kering
Biarlah aku terjatuh dalam jurang kepedihan
Asalkan kau terselamatkan
dari kehancuran dan siksa kerinduan
Itulah salah satu puisi
yang dikirim Hanun padaku waktu itu. Puisi itu masih aku hapal di kepalaku. Jika
aku kangen, lewat puisi itu aku hadirkan bayangan Hanun. Lewat puisi itu Hanun
begitu lekat di benak dan batinku. Wajahnya, senyumnya, marahnya, cemburunya,
sedihnya tayang di hati, pikiran dan mataku. Walau kami sudah berpisah, Aku
akui hati ini masih miliknya. Aku belum bisa berpaling. Deritanya deritaku.
Sakitnya sakitku.
Saat ini Hanun harus
berjuang melawan sakit. Bahkan, sudah 2
mingguan dia tergeletak di rumah sakit melawan serangan tipes. Sejujurnya aku
ingin berada di samping Hanun saat dia terpuruk seperti ini. Dia butuh aku. Infus dan obat tak mampu menyembuhkan
penyakitnya. Hanya akulah harapannya. Aku pingin pulang namun tidak berani. Tidak ada alasan jika aku
ditanya ibu, nanti. Karena dua minggu lalu aku sudah pulang, waktu cucu Pak De puputan.
Aku takut peristiwa 3
tahunan yang lalu terulang lagi. Saat awal mereka tahu aku menjalin hubungan
dengan Hanun. Waktu itu Ayah dan ibu mengintrogasi aku diruang tamu.
“Duduk, Le!”
Perintah bapak kepadaku
selepas magrib waktu itu. Beliau
mencegat aku di ruang tamu saat pulang dari mushola. Aku turuti perintahnya.
Aku duduk tertunduk di depan beliau. Beberapa menit, Ibu keluar dari kamar lalu
duduk di sebelah bapak. Suasana rumah seperti pengadilan saja. Perasaanku kacau
dan takut. Aku punya salah apa sama mereka sehingga aku seperti pencuri yang
dihakimi?
Aku tidak berani
menatap wajah mereka. Aku juga tidak berani menanyakan ada masalah apa hingga
mereka menyuruh aku duduk dihadapan mereka yang tidak seperti biasanya.
Biasanya bapak kalau menyuruh aku menggaruk garam di tambak, dia cukup berdiri
di depan pintu kamarku dan berbicara di luar kamar. Atau menitip pesan kepada
adikku jika bapak menyuruh aku ke tambak untuk memanen bandeng atau menebar nener.
“Le.., aku mau tanya sama kamu. Jawab seng
jujur, yo Le!
“Ing..gih, Pak!” jawabku dengan agak gemetar.
“Apa betul kamu suka
seorang gadis?”
Aku tersentak kaget.
Dadaku terasa mau pecah. Apa bapak menahu hubunganku dengan Hanun? Atau ada maksud
lain?
“Jawab, Le! Jawab ae seng tegas lan jujur.” kata
ibu.
Aku harus bilang apa.
Aku menjawab tidak, aku membohongi perasaanku dan mereka. Kalau aku jawab “iya”
aku tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. Ya, Allah…! Harus kukatakan apa
di hadapan mereka?
“Piye Le, kok gak jawab!”
Mukaku seperti
ditampar. Leher dan kepalaku kaku seperti sarafnya mati. Keringat hangat mulai
mengalir dari tubuhku. Keringat itu mulai menjilat-jilat bajuku. Lebih-lebih
pantatku. Aku tarik napas dalam. Aku beranikan diri mengangkat kepala namun
belum berani menatap mereka.
“Ada apa Pak, Buk, mengapa Jenengan ngendikan ngoten?”
“Gini, Le ! kata Pak Demu tadi sore bahwa orang-orang sekampung
membicarakan kamu!”
“Bicara masalah apa,
Pak!”
Aku pura-pura tidak
tahu. Padahal aku mulai tahu arah pembicaraan mereka. Pasti dia akan menanyakan
hubunganku dengan Hanun. Karena setelah sholat magrib tadi aku di panggil Pak
De di mushola sebelum pulang. Aku ditanya tentang hubunganku dengan Hanun sejauh
mana. Aku sempat terkejut dari siapa Pak De tahu aku ada hubungan dengan Hanun?
Pak De menjawab kalau dia tahu dari Wak Ranto yang meminang Hanun untuk Jawawi,
anaknya.
“Orang-orang sekampung
berbicara tentang Kamu. Hubunganmu dengan anaknya Mustaqim. Tadi sore, Pak De
bilang kepada bapak saat di tambak. Pak De juga ditanya Wak Ranto tentang
hubungan kamu dan anaknya Mustaqim. Karena anak Wak Ranto meminang anak
gadisnya Mustaqim, namun pinangannya
ditolak. Dengan alasan bapak si gadis itu mengatakan kalau dia sudah ada janji
dengan kamu. Apa betul itu Le..?
Aku diam. Mulutku sulit
aku gerakkan.
“Wong rupamu yo koyok ndok ngono, kok diedani wong wedok le…le..!
Le.., kamu ini masih timur! Sekarang ibu tanya, umur kamu berapa?
“18 tahun, Bu?”
“Sebaiknya kamu
menyelesaikan kuliahmu dulu. Kalau kamu lulus kuliah dan dapat pekerjaan baru
menikah. Siapa gadis yang jadi pilihan kamu ibu pasti setuju.” Kata Ibu
“Ngingoni anake wong ora gampang, Le!” kata bapak.
“Lagi pula perjalan
hidupmu masih jauh. Aku tidak suka kamu menggantung anak orang. Nanti akan
timbul banyak fitnah. Kamu harus menjaga harga diri dan kehormatan keluarga,
diri kamu, bapak dan ibu! Kalau memang gadis itu jodoh kamu pasti akan ketemu!
Kalau jodoh tidak akan kemana, Le!
Tetapi, aku tidak mau kamu menjalin hubungan selama Kamu masih kuliah. Karena
apa?! Pertama kamu masih kecil, belum bekerja. Kedua, itu akan menggangganggu
konsentrasi belajarmu. Ketiga, apa pantas seorang alumni madrasah pacaran
seperti orang kebanyakan. Ketemuan, boncengan dan lain-lain. Di mana otak kamu,
Le! Di mana le…!” kata ibu waktu itu
dengan suara meledak-ledak.
Kulangkahkan kaki ke
luar karena di dalam masjid terasa makin pengap saja. Padahal masjid ini
besarnya dua kali lipat masjid di desaku. Bangunan berdiri megah berlantai dua
ini tak mampu menampung kepengapan yang menggumpal di dadaku. Kusandarkan tubuhku di tralis pagar teras
masjid. Kutatap langit yang benderang cahaya. Kubiarkan pikiranku mengitari
bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang.
Aku bagi bebanku kepada
dewi malam yang bersenyum lebar dan bintang-bintang yang bergelantung di
angkasa itu. Aku lemparkan beban-beban ini kepada pohon mangga, sawo, dan pohon
belimbing yang selalu memberikan keceriaan anak-anak ketika sebelum atau
sesudah mengaji di masjid ini.
Kutimpakan pula kepada rumah-rumah mewah yang berpagar besi yang
menggambarkan keangkuhan penghuninya. Namun, aku tidak menemukan ketenangan di
sana. Malah pikiranku melayang jauh ke kota kelahiran, ke daerah asalku yang
jaraknya beratus-ratus meter dari Salatiga ini. Aku membayangkan Hanun
tergeletak di tempat tidur putih. Dia merintih-rintih menahan sakit.
“Belum
tidur, Ful!”
Tiba-tiba suara Duki
menyibak kesunyian malam. Kudongakkan kepalaku ke mukanya. Mungkin dia bangun
ingin salat tahajud.
“Belum, Duk!” Jawabku
kepada teman yang mengajakku tinggal di masjid ini menjadi muadzin dan penjaga
masjid ini. Sebelumnya aku menjadi penjaga masjid dan muadzin di masjid komplek
sebelah. Aku pindah sini karena ajakannya. Di samping gaji bulanan, di sini
kita diberi beras untuk makan. Sehingga mengurangi beban hidupku setiap
bulannya.
“Jadi kamu belum
memejamkan mata barang sejenak semalaman ini?”
Aku mengangguk. Memang,
mataku belum terpejam meski sejenak sejak para pengurus masjid ini undur dari
rapat rutin bulanan. Mungkin sekitar pukul 00.30 mereka membubarkan diri untuk
mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah seharian melawan kerasnya pekerjaan.
Aku kepingin pulang tetapi belum punya keputusan. Pikiranku masih kacau makanya
aku keluar dari masjid mencari solusi yang tepat.
“Apa yang membuat kamu
tidak bisa tidur, Ful?” tanya Duki melangkah duduk di sebelahku.
“Dulu, sebelum aku
kuliah di sini, aku jatuh hati pada seorang gadis. Hubunganku cukup serius.
Kami mengadakan sumpah janji. Apapun yang terjadi kita tetap bersama. Tak
perduli topan, badai, gunung meletus kami akan tetap bersama. Kami juga
bersumpah untuk membina rumah tangga. Walaupun rintangan dari orang tua kita,
kita akan tetap menerjangnya. Berjalannya waktu kami putus. Kami sudah putus
hubungan 3 tahun yang lalu. Namun, hati ini rasanya masih saling memiliki.
Hanun sudah berkali-kali dipinang orang tetapi selalu ditampik.”
“Dia, gadis mana?”
“Dia gadis tetangga
desa.”
“Sumpah dan janji
kalian begitu menggebu. Akhirnya, hubungan kalian putus tengah jalan. Kok bisa?
Apa yang menjadi pemicunya?”
“Sebetulnya tidak ada
pertengkaran antara kami. Gimana ya, menjelaskan…!”
“Apa kedua orang tua
kalian sebagai penghalang?”
“Masalah jodohku orang
tuaku terserah aku. Akan tetapi, ibu dan bapakku meminta aku menyelesaikan
kuliah terlebih dulu. Setelah lulus kuliah menjadi seorang sarjana aku
diperkenankan menikah. Dia tidak menarif siapa pendamping hidupku. Yang penting
aku bahagia. Tentunya aku menikah dengan seorang wanita solehah yang aku cinta.
Kalau Bapak Mustakim, bapaknya Hanun Memang tidak meminta lebih dariku masalah
harta. Karena orang tua Hanun seorang ahli agama. Beliau takmir musholla dan
kyai di daerah lingkungannya. Yang dia pinta hanya ikatan dan status
perjodohan. Biar dia tidak bingung dalam menjawab kalau ada orang datang
meminang anaknya. Namun, aku tidak berani melangkah. Padahal Pak Mustaqim hanya
ingin ikatan cinta dengan tanda Ndodok
lawang saja dan Talenan.”
“Lalu, mengapa kalian
berpisah?”
“Aku menjalin hubungan dengan
Hanun ketika baru lulus aliyah. Hanun mondok ke Jawa Timur, sedang aku kuliah
di Salatiga sini. Selama setahun mondok di sana Hanun sokat-sakit. Akhirnya
orang tuanya tidak tega. Hanung diajak boyong. Berjalannya waktu ada
beberapa pemuda yang ingin meminangnya. Namun, pemuda-pemuda itu ditolaknya.
Dengan alasan dia sudah punya calon sendiri yakni, aku.”
“Terus….!”
“Waktu itu bapak Hanun
menyuruh aku ke rumahnya. Lalu aku datang. Kemudian aku ditanya macam-macam
oleh bapaknya. Pada intinya orang tuaku disuruh ke rumahnya untuk melamar
putrinya. Setelah aku pulang kuutaran semua pesan bapak Hanun. Kalau Bapak
waktu itu menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Tetapi Ibu menolaknya, katanya kami Masih sangat muda memikirkan perkawinan. Setelah
banyak pertimbangan, akhirnya aku mundur ke belakang. Aku putus tali itu di
hadapan orang tua Hanun. Karena aku tidak mau mengecewakan orang tuaku. Aku
tidak akan memupus harapan mereka. Kuputuskan tali cinta itu juga karena ketakutanku kalau-kalau Bapak Hanun meminta aku menikah
sebelum aku di wisuda.
“Terus apa permasalahan
kamu sampai tidak tidur semalaman. Kamu kan sudah bebas dengan Hanun. Apa yang
kamu pikirkan?”
“Tadi sore, aku
mendengar kabar dari Imam kalau Hanun
jatuh sakit lagi. Keadaannya sangat kritis. Aku betul-betul sangat terpukul.
Aku takut terjadi sesuatu pada dia. Aku ingin pulang tetapi aku tidak enak
kepada orang tua. Lagi pula kalau aku pulang, aku tidak mampu menghadapi
pertanyaan orang tuaku. Aku telah berjanji kepada bapak dan ibu untuk menjauh dan
tidak berani menjenguk Hanun. Selain itu, aku takut pada Pak Mustaqim. Aku tidak berani menghadapi
bapak Hanun itu jika aku menjenguknya di
rumah sakit nanti. Karena Aku telah letakkan cinta dan kasih Hanun di depan
beliau saat beliau meminta bapak ke
rumahnya sekitar 3 tahun yang lalu. Aku
bersikap jantan kepada Pak Mustaqim kalau aku sangat mencintai putrinya. Namun,
aku tidak berani menjalin hubungan. Aku tidak berani dalam ikatan seperti adat
Jawa ndodok lawang terlebih dulu
nikahnya belakangan. Aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu membangun
masa depan. Hanun aku persilahkan menerima pinangan dari lelaki lain jika
berkenan. Itulah yang menjadi penghalau
kepulanganku. Tetapi kalau tidak pulang aku belum tenang karena belum lihat
keadaan Hanun secara langsung.”
“Ful, kalau kamu ingin pulang menjenguk Hanun,
pulanglah! Biar masalah masjid ini aku yang handle.
Menghadapi orang tuamu kan gampang a.
Cari alasan yang tepat pasti mereka bisa menerima. Kalau kamu takut kepada Pak
Mustaqim kamu mengajak teman atau orang yang lebih tua. Aku kira orang tua
Hanun malah senang kamu mau menjenguknya. Udah, nanti pagi kamu pulang saja!
Soal absen kuliahmu nanti aku yang ngatur!”
“Matur nuwun ya, Duk!”
“Biasa aja kali!”
Ada sebongkah cahaya
terang masuk di dada. Keinginan pulang sudah mendorong-dorong segera. Wajah
teman-teman terasa memanggil-manggilku agar segera sampai tanah kelahiran.
Lebih-lebih wajah Hanun yang sangat memelas yang didekap kesedihan. Erangan
sakitnya merobek-robek hatiku. Tangisannya mencabik-cabik batinku. Lolongan
teriakannya mengoyak-oyak jiwaku.
“Sekali lagi, terima
kasih ya, Duk!”
“Ya, sama-sama! Itulah
guna teman, Kawan! Kita harus saling mendukung dan berbagi rasa. Aku tahajud
dulu, ya! Karena satu jam lagi sudah masuk subuh. Oh, ya! kamu tidur saja. Biar
aku yang melantunkan adzan subuh.”
“Baiklah, Duk!”
Duki berjalan ke tempat
wudhu. Sementara aku pergi ke kamar belakang masjid untuk merebahkan tubuh dan
mataku yang lelah. Namun aku tidak juga bisa memejamkan mata. Aku kangen Hanun.
Memang dihadapan orang tua kami memang sudah berpisah. Namun, di hati kami
masih ada kesetiaan walaupun kesetiaan itu tidak kami ikrarkan. Kami menjalin
kesetiaan tanpa janji.”
&&&&&&
“Di mana, ruangannya
Kang?” tanya Pak Thoriq kepadaku setelah aku menanyakan kamar tempat Hanun
dirawat, di ruang informasi.
“Di Ruang Gading, Pak!”
jawabku.
Sengaja tadi aku ke
rumah Pak Thoriq memberikan kabar kepada beliau kalau Hanun keadaannya sangat
kritis. Berharap juga beliau berkenan menjenguk Hanun bersama kami karena hari
ini beliau tidak pergi mengajar. Alhamdulillah Pak Thoriq bersedia. Akhirnya kami
bertiga pergi ke rumah sakit ini.
“Ruang Gading itu
sebelah mana, Pak!” tanya Kincup.
“Ruang Gading itu ujung
timur sebelah pojok utara rumah sakit ini,” kata Pak Thoriq sambil melangkah
pergi. Aku dan Kincup mengikuti dari belakang.
“Itu Ruang Gading,
Kang! Coba cari Hanun dirawat di kamar nomor berapa.!”
Kemudian kami melototi
setiap tempat tidur pasien. Setiap mataku kudaratkan pada tempat tidur berwarna
putih itu berdebar-debar dadaku. Dadaku semakin berdebar ketika setiap pasien
yang tergeletak di tempat tidur yang aku
tatap ternyata bukan Hanun. Semakin bergetar dada dan tubuhku ketika mataku
menangkap sorang gadis yang begitu aku kenal tergeletak tak berdaya tertutup
selimut. Matanya terpejam. Sementara hidungnya dijejal selang oksigen. Tidak salah
dia Hanun. Masyaallah…! Tubuh Hanun yang montok dan mukanya yang tembem itu
hanya tinggal kulit dan tulang saja?
“Ya, Allah…. ampuni aku
dan Hanun yang tergeletak tak berdaya di sana! Ampuni semua dosa-dosanya dan
beri dia kesembuhan….!” Batinku. Aku
terpaku pada sosok itu sehingga aku lupa memberitahu Kincup dan Pak Thorik
kalau aku sudah menemukan Hanun.
“He, He! He, He!”
tiba-tiba seorang perempuan berteriak keras kepadaku.
Dia berteriak sangat
keras sambil mengangkat-angkat tangannya sampai-sampai dia menjadi pusat
perhatian. Kupahamkan siapa yang berteriak itu. Dia adalah ibu Hanun. Aku
bermaksud lari meninggalkan ruang.
“He, He, Kamu!” dia
mengulangi teriakannya lagi.
Semakin bergetar dada
dan tubuhku. Mungkin, dia tahu kalau aku akan meninggalkan ruangan. Aku
bergegas berlari karena pikiranku tak menentu. namun Pak Thoriq menangkap
pundakku. Dia menghalau pergerakanku.
“Ful, kamu disuruh ke
situ!” kata Pak Thoriq
Aku bingung. Jelas di
mataku tadi Ibu Hanun mengangkat tangan dengan mengepal bukan melambai. Tetapi,
Pak Thoriq mengatakan aku dipanggil ibu Hanun.
“Pak, saya disuruh
pergi!” kataku agak tegang, “Ibu Hanun masih marah padaku!”
“Tidak, Ful! Dia
menyuruh kamu datang menghampir bukan untuk menjauh!”
Aku tertunduk.
Pikiranku tak menentu. Aku merasakan ada tangan lembut memegang pundakku.
“Ful, tolong aku! Ibu
mohon padamu! Bangunkan Hanun!” pinta ibu Hanun.
Ternyata tangan lembut
yang memegang pundakku adalah Ibu Hanun. Aku masih diam. Mulutku seperti
terkunci saja. Aku tidak bisa mengucap apa-apa.
“Adikmu, Hanun sudah
dua hari tidak siuman. Tolong, Le! Bangunkan Hanun!”
Karena aku belum
bereaksi apa-apa ibu Hanun menyeret aku mendekat Hanun yang sedang koma.
Tangisan wanita itu meraung-raung. Hatiku sangat terpukul melihat keadaan
Hanun. Yang dulu manja di depanku dan ngelarang-ngelarang aku berbuat ini itu
hari ini terbujur kaku.
“Nun, bangun, Nun! Nun,
bangun Nduk! Ini ada Mas Iful!”
Hanun masih kaku. belum
ada reaksi. Batinku menangis. Seandainya aku bisa berteriak aku akan berteriak dan
menangis sekencang-kencangnya.
“Nun, bangun ini aku,
Mas Iful!”
Jari-jari Hanun mulai
bergerak. Ada kekuatan yang menggerakkan jari-jari tangannya yang tinggal
tulang.
“Nun, bangun! Walau aku
tidak janji aku akan membahagiakan kamu Nun! Aku janji jika kamu bangun dan
sembuh aku tak akan melukai kamu. Aku tak akan pernah menyakiti kamu. Aku akan
membuat kamu tersenyum dan bahagia” janjiku pada diriku sendiri.
“Nun, tombo teko, Nun! Tombo teko!” kata seorang perempuan yang sejak tadi memperhatikan
aku. “Mas, pegang saja tangannya. Dan bicara pas di telinganya!” katanya
memberikan intruksi padaku.
Aku nurut perintahnya.
Aku pegang tangan Hanun walau dia bukan mahromku. Tetapi ini darurat demi
nyawa. Kemudian kusemprong
telinganya.
“Nun, bangun! Ini aku,
Mas Iful! Nun, ingat aku tidak! Ingat peristiwa di pulau Panjang, tidak!”
“Hem..! eeng ..!”
Hanun mulai
mengeluarkan suara-suara dari mulutnya. Namun suaranya tidak jelas. Tubuh Hanun
mulai menggeliat-geliat. Kepalanya diangkat seperti ingin mencari sesuatu.
Namun, kepalanya terlempar lagi ke bantal. Dia mencoba mengangkat kepala lagi.
Kali ini dengan kesungguhan. Tetapi matanya masih belum dibuka. Tangan kanannya
meraba-raba. Sementara tangan kirinya mendekap erat tanganku.
“Alhamdulillah ya,
Allah…engkau telah membangunkan Hanun dari komanya” batinku.
“Nun, buka matamu,
Nduk!” Siapa yang datang! Coba lihat siapa orang yang di hadapanmu!” kata ibu
Hanun.
“Nun, tomboem teko, Nduk! Loromu lungo, yo!” kata
orang yang memperhatikan aku tadi.
“Em…emmm! Mas, Iful…! Mas….!
Mas, Iful…!” kata Hanun lirih. Namun sudah jelas kudengar.
“Ya, Nun! Ini, aku….!
Mas Iful!”
“Mas, Iful…! Mas….!
“Ya, Nun aku di sini!”
“Kaukah itu,Mas…?”
“Buka mata kamu, Nun!”
Kepalanya
digeleng-gelengkan. Sementara tangannya semakin erat mendekap tanganku.
“Mas, Iful…..!
“Ya, Nun…!”
“Apa aku sedang bermimpi, Mas?
“Kamu tidak bermimpi,
Nun! Aku sedang di sini ada di sisihmu. Buka mata kamu, ya!
“Tidak Mas, aku tidak
mau buka mata!”
“Kenapa, Nun!”
“Aku takut terjaga! Aku
takut mimpiku berakhir!”
“Nun, ini aku! Buka
mata kamu! Kamu tidak bermimpi! Aku di sini, Nun!
“Aku tidak akan buka
mata,Mas. Aku tak ingin mimpiku terputus. Aku takut Mas Iful pergi meninggalkan
aku!
“Aku tidak akan
meninggalkan kamu, Nun! Aku akan menunggui kamu sampai kamu sembuh!”
Hanun bangkit dari
tempat tidurnya. Dia mencari-cari keberadaanku. Matanya masih tertutup. Tangannya meraba-raba tubuhku. Kemudian Dia meraihku.
Dia mendekapku. Aku bingung, tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sementara
tangan Hanun melingkar kuat di tubuhku. Aku tidak berani membalas pelukannya.
Pandanganku kulempar ke Pak Thoriq lalu ke Kincup namun mereka menunduk.
Kemudian kualihkan ke Ibu Hanun. Ibu Hanun mengangguk. Akhirnya aku putuskan
untuk membalas dekapannya Hindun walau dia bukan mahromku.
Saat tanganku
kulingkarkan ke tubuh Hanun, aku tersentak kaget melihat dua sosok orang yang
aku kenal berdiri depan pintu. Mereka berdua adalah bapak dan ibu. Seketika
kulepaskan lingkaran tanganku. Aku tidak ingin melukai perasaan mereka.
“Dak papa, Le!” kata
ibu ketika mendekat dan mengembalikan lingkaranku ke tubuh Hanun.
Aku masih diam. Tidak
segera menjawab. Aku belum memahami kata-kata ibu.
“Tadi, bapaknya Hanun
ke rumah meminta izin kepada bapak dan ibu. Beliau mau meminta tolong kepada
kamu. Kamu diminta menjenguk Hanun barang sejenak. Karena sakit Hanun
betul-betul kritis. Bapak dan ibu mengabulkannya. Terus bapak menghubungi kamu,
tetapi HP kamu tidak aktif. Lalu bapak menelpon temanmu Duki. Duki bilang kamu
pulang. Akhirnya kami putuskan ke sini bersama Pak Mustaqim,” jelas bapak.
Pandanganku kulempar
kepada bapak Hanun yang sudah di dekatku. Beliau mengangguk. Wajahnya tampak
bahagia. Kemudian aku jabat tangan dan kucium tangan beliau.
“Makasih ya, Nak Iful!”
katanya.
“Ya Pak, sama-sama!”
jawabku.
“Kalau memang kalian
saling cinta, bapak dan ibu merestui cinta kalian! Lagi pula sebentar lagi kamu
akan diwisuda. Kamu juga sudah dapat tawaran pekerjaan.”
“Terima kasih ya, Buk!
Terima kasih ya, Pak!”
“Ya, Le!” jawab bapak
dan ibu bersamaan.
“Semoga hubungan Kalian langgeng!” kata ibu.
“Amin….!” Jawabku.
Label: Cerpen